Satu Dekade Perjanjian Helsinki Berharap Ada Rekonsiliasi
Peringatan satu dekade perjanjian Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia diharapkan menjadi bahan refleksi
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peringatan satu dekade perjanjian Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia diharapkan menjadi bahan refleksi bagi kedua belah pihak agar tetap memajukan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Aceh Monitoring Pieter Faith.
"Penting bagi kami, untuk terus memantau perkembangan yang ada. Selama 10 tahun ini, sudah ada perkembangan yang baik dan saya berharap terus seperti ini," ujar Pieter di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (10/8/2015).
Pieter menambahkan bahwa proses perdamaian yang sudah berjalan sepuluh tahun antara GAM dan Pemerintah Indonesia adalah satu cara yang sangat baik, karena dapat menyelesaikan konflik yang sudah berjalan hingga 30 tahun lebih.
Lebih lanjut, Pieter mengatakan bahwa perjanjian Helsinki yang terjadi pada 15 Agustus 2005, telah melindungi nyawa ribuan orang yang berada di Aceh dan juga mempertahankan wilayah Aceh untuk tetap berada di Indonesia.
"Menurut saya ini penting, bukan hanya untuk konflik yang terjadi di Aceh, tapi juga untuk kemanusiaan. Serta untuk budaya dan nasionalisme kebangsaan," tambah Pieter.
Juha Christensen yang pada saat itu menjadi fasilitator perdamaian di Aceh mengatakan bahwa selama sepuluh tahun belakangan ini, konflik yang terjadi di Aceh sudah berkurang cukup signifikan. Ia yang pernah mendatangi Aceh saat masih berkonflik, mengatakan bahwa kondisi di Aceh sudah lebih kondusif.
"Tingkat kekerasan dan kriminalitas sudah sangat berkurang. Tidak terlihat banyak kasus yang terjadi di Aceh, karena sudah tertera dalam perjanjian," kata Juha.
Juha juga mengatakan bahwa komunikasi setiap stakeholder terkait sangat diperlukan guna memberikan rasa aman dan kepastian hukum atas kasus yang pernah terjadi di Aceh sebelum Memorandum of Understanding di Helsinki, Finlandia.
"Kepastian hukum harus terus berjalan. Kami berharap pemerintah dapat membantu kami dalam mengusut kasus yang pernah terjadi," harap Juha.
Upaya Rekonsiliasi
Komisioner Komnas HAM, Hafid Abbas mengatakan bahwa selama satu dekade, usaha untuk dapat menjalankan rekonsiliasi dari pemerintah Indonesia, mantan pengurus GAM dan keluarga korban terus berlangsung hingga saat ini.
Menurut Hafid, perjuangan Komnas HAM untuk melakukan rekonsiliasi merupakan amanat dari MoU di Helsinki yang salah satu poinnya adalah menciptakan kedamaian di bumi Naggroe Aceh Darusalam.
"Dari poin perjanjian Helsinki sudah diatur. Kami hanya menjalankan saja dan kami berharap dibuatnya pengadilan AdHoc," ujar Hafid.
Pengadilan AdHoc tersebut nantinya akan menjadi titik temu antara pemerintah dan keluarga korban kekerasan di Aceh pada saat konflik terjadi.
Hal senada juga dikatakan oleh Pieter Faith yang berharap agar seluruh masyarakat Aceh mendapatkan keadilan dan mengurangi trauma di masa lalu dan juga mengantisipasi timbulnya konflik baru.
Diketahui, bahwa sepuluh tahun lalu pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia bersama GAM melakukan perjanjian perdamaian atas konflik yang terjadi selama lebih dari 30 tahun di Aceh.
Setidaknya, ada tiga poin utama dari MoU Helsinki, yaitu, penerapan syariat Islam dan Lembaga Wali Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, serta pembagian hasil minyak bumi dan gas alam sebesar 70 persen. Saat ini, perjanjian tersebut telah diatur di UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.