Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saran Ahli Pemulihan Aset terkait Eksekusi Supersemar

Ahli pemulihan aset Indonesia, Chuck Suryosumpeno memiliki beberapa saran bagi Kejagung dalam hal penyitaan aset Yayasan Supersemar.

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Saran Ahli Pemulihan Aset terkait Eksekusi Supersemar
Net
Beasiswa Supersemar 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli pemulihan aset Indonesia, Chuck Suryosumpeno memiliki beberapa saran bagi Kejagung dalam hal penyitaan aset Yayasan Supersemar pasca Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung pada Yayasan Supersemar yang dimiliki mantan Presiden Soeharto. Sehingga kini keluarga Soeharto mesti membayar Rp 4,4 triliun.

Menurut Chuck mengingat kasusnya adalah perdata, maka yang akan melakukan eksekusi putusan 140 PK/PDT/2015 adalah Pengadilan.

"Apabila yang menjadi termohon dalam kasus ini adalah Bapak HM Soeharto maka yang wajib menanggung pembayarannya adalah para ahli waris beliau,” kata Chuck saat dihubungi wartawan, Jumat (14/8/2015).

Chuck menuturkan saat ini, dunia telah mengenal dua macam sistem pemulihan aset atau asset recovery, yaitu pemulihan aset secara sukarela atau tanpa paksaan (Voluntarily Asset Recovery) dan dengan pemaksaan (Forcing Asset Recovery).

Apabila ahli waris Soeharto bersedia melakukan voluntarily asset recovery maka negara wajib memulihkan nama baik termohon sehingga pendekatannya tidak perlu dengan “pemaksaan” atau forcing.

Hal ini dikarenakan Voluntarily Asset Recovery telah terbukti merupakan jalan keluar termurah dan termudah bagi kedua belah pihak (pihak pemohon dan termohon).

Mantan Presiden ARIN AP (Asset Recovery Interagency Network for Asia and Pacific Region) 2014 ini menjelaskan apabila terpaksa melakukan Forcing Asset Recovery, dan ternyata aset atau harta para ahli waris kurang, pihak pengadilan dapat meminta pada NCP (National Contact Person) CARIN (Camden Asset Recovery Interagency Network) untuk Indonesia melakukan penelusuran aset para ahli waris yang berada di luar negeri.

"Kami akan siap untuk membantu jika diminta pihak pengadilan untuk menelusuri aset para ahli waris tersebut," tegas Chuck.

Sementara itu Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Made Sutrisna mengaku belum menerima putusan MA bernomor 140 PK/PDT/2015 tersebut.

"Kami belum menerima. Jadi belum bisa mengambil sikap. Kalau berkas putusan dari MA sudah masuk, kedua belah pihak dari penggugat (negara) dan tergugat (keluarga Soeharto) akan dipanggil pengadilan untuk dimintai kesediaan masing-masing dalam menjalankan amar putusan," terang Made.

Made menambahkan pihaknya akan memberi waktu selama 8 hari untuk memutuskan pihak yang kalah (ahli waris Soejarto) menentukan penyitaan dilakukan secara sukarela atau paksaan.

Sebelumnya, Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial Suwardi bersama anggota majelis hakim Soltony Mohdally dan Mahdi Soroinda Nasution memutuskan untuk mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung pada mantan Presiden Soeharto. Vonis ini diputuskan pada 8 Juli 2015.

Kasus bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.

Namun pihak Yayasan Supersemar tidak memenuhi pembayaran kas negara sebesar 5 persen dari total laba yang dihasilkan sesuai ketentuan yang telah disepakati. Akibatnya negara diperkirakan menelan kerugian sebesar 315 juta dolar AS dan Rp 139,438 miliar.

Selanjutnya atas putusan tersebut, MA mewajibkan Yayasan Supersemar membayar ganti rugi dan denda sekitar Rp 4,4 triliun dengan teknis yang akan diatur oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai pengadilan tingkat pertama.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas