Sudah Jadi Menteri, Rizal Ramli Diminta Tidak Berlagak Seperti Pengamat
sikap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli tidak sesuai dengan kebutuhan pemerintah saat ini.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Populi Center Nico Harjanto menilai, sikap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli tidak sesuai dengan kebutuhan pemerintah saat ini.
Menurut dia, pernyataan Rizal yang mengkritik kebijakan pemerintah di hadapan publik, justru menimbulkan kegaduhan dalam internal kabinet.
"Semestinya Rizal Ramli sudah tahu bahwa pemerintahan dengan menteri-menteri yang solid adalah yang dibutuhkan pada saat ekonomi yang sulit seperti sekarang ini. Bukan adu pintar dan masih berlagak seperti pengamat," ujar Nico kepada Kompas.com, Selasa (18/8/2015).
Menurut Nico, jika Rizal Ramli tidak bisa mengubah kebiasaan mengkritik kebijakan pemerintah di hadapan publik, maka hal tersebut menunjukkan bahwa ia tidak pantas menduduki jabatan menteri koordinator. Sikap tersebut menunjukan Rizal Ramli tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Nico berpendapat bahwa Presiden Joko Widodo harus segera turun tangan dengan menertibkan menteri-menteri yang hanya bisa membuat hal-hal bersifat kontroversi ketimbang mencarikan solusi bagi pemerintah.
Lebih lanjut, menurut Nico, jika seorang menteri tidak lagi menaati perintah Presiden, maka bisa jadi reshuffle adalah pilihan terbaik yang bisa dilakukan Jokowi.
Rizal Ramli langsung mendapat sorotan tak lama setelah dilantik Presiden. Rizal meminta agar PT Garuda Indonesia Tbk membatalkan penambahan pesawat. Dia mengaku telah membicarakan hal ini kepada Presiden Jokowi. Rizal mengaku tidak ingin Garuda bangkrut dengan membeli 30 unit Airbus A350 tersebut.
Pernyataan Rizal ini kemudian direspons Menteri BUMN Rini Soemarno. Rini mengisyaratkan tidak boleh ada pihak yang mencampuri urusan bisnis PT Garuda Indonesia Tbk, selain Menko Perekonomian, dengan posisi bahwa Kementerian Keuangan bertindak selaku pemegang saham perusahaan milik negara, dan Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham.
Pihak Istana menyebut bahwa Presiden Jokowi sudah menegur Rizal melalui sambungan telepon dan meminta tidak mengumbar kritik di hadapan publik.
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar Rizal memahami terlebih dahulu persoalannya sebelum berkomentar di hadapan publik.
"Itu sudah ditegur oleh Presiden. Makanya, paham dulu, tidak pernah beli, baru penandatanganan letter of intent, saya berminat, bukan kesepakatan jual beli," kata JK.
Belakangan, Rizal tidak memedulikan teguran tersebut. Rizal malah mengajak JK untuk berdebat secara terbuka terkait rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt. Ia menilai, ada hal yang perlu diluruskan dari proyek tersebut.
"Kalau mau paham, minta Pak Jusuf Kalla ketemu saya, kita diskusi di depan umum," ucap Rizal.
JK meminta Rizal sedianya memahami terlebih dahulu persoalan yang ada sebelum ia menyampaikan kritik. Menurut JK, pengadaan pembangkit listrik 35.000 megawatt merupakan suatu kebutuhan. Infrastruktur kelistrikan harus dibangun sebelum membangun industri.
"Tentu sebagai menteri, harus pelajari dulu sebelum berkomentar. Memang tidak masuk akal, tetapi menteri harus banyak akalnya. Kalau kurang akal pasti tidak paham itu memang. Itu kalau mau 50.000 megawatt pun bisa dibuat," kata Kalla.(Abba Gabrillin)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.