Penyidik Obok-obok Bekas Ruangan Nina Nurlina di Pertamina Foundation
Penyidik Bareskrim menggeledah ruangan Direktur Eksekutif Pertamina Foundation, Umar Fahmi. Sebelumnya, Nina Nurlina Pramono sempat berkantor di sini.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah ruangan kantor Pertamina Foundation di Jalan Sinabung II, Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, digeledah penyidik gabungan Bareskrim Polri, Selasa (1/9/2015) siang.
Ruangan Direktur Eksekutif Pertamina Foundation, Umar Fahmi, juga turut digeledah penyidik. Sebelumnya, ruangan itu ditempati oleh Nina Nurlina Pramono selaku pendahulu Umar Fahmi.
"Yang digeledah ruangan bendahara, kemudian ruangan direktur, kemudian ruang pendataan dan perencanaan itu digeledah. Di sini ada empat lokasi," kata Direktur II Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Victor Simanjuntak, di lokasi.
Pegawai setempat mengakui hal tersebut. "Ruangan Pak Direkturnya ada di pojok kiri. Digeledah juga. Iya, sebelumnya Bu Nina," ujar seorang pegawai.
Victor menjelaskan, penggeledahan ini terkait penyidikan kasus dugaan korupsi sejumlah program CSR (corporate social responsibiliy) yayasan Pertamina Foundation pada 2012-2014, di antaranya gerakan "Menabung 100 Juta Pohon".
Ia mengakui ada seorang mantan pejabat yang terindikasi sebagai tersangka dan akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Namun, ia enggan merinci apakah kasus ini mengarah pada Nina Nurlina selaku orang yang memimpin sejumlah program CSR tersebut.
Nina Nurlina Pramono menjadi sekian calon pimpinan KPK 2015-2019. Ia lolos dalam seleksi hingga 48 besar. Saat uji wawancara calon pimpinan KPK, pansel sempat mempersoalkan asal-usul banyaknya rumah, kondotel, dan mobil yang dimiliki Nina.
Pansel juga mencecar Nina soal proyek 100 juta pohon yang digarap olehnya selaku pimpinan Pertamina Foundation. Proyek tersebut dianggap wanprestasi. “Mengapa dari 100 juta pohon, proyeknya hanya 30 persen saja?” tanya anggota pansel, Supra Wimbarti.
Menurut Nina, data tersebut kurang tepat. Menurutnya, ada kesalahpahaman dari auditor publik yang mengambil sampel hanya 0,05 persen dari jumlah proyek tersebut. Sebab, dari hasil sampel itu, hanya 30 persen saja yang terealisasi.
Nina mengakui dirinya sekali melaporkan LHKPN ke KPK pada 2011. Kekayaannya saat ini sekitar Rp25 miliar dan pernah membeli mobil mewah BMW secara tunai seharga Rp1,7 miliar.
Ia mengaku pundi-pundi kekayaannya itu adalah hasil pendapatannya dan sang suami, Hardy Pramono yang baru saja pensiun pada 2014 selaku Presiden & General Manager Total E&P Indonesia. Gaji sang suami mencapai Rp 200 juta per bulan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.