Keputusan MK soal Pemeriksaan DPR Harus Seizin Presiden Dinilai Belum Jelas
"Jadi tidak semua (dugaan) tindak pidana, pelanggaran yang dilakukan anggota DPR pemeriksaannya harus seizin Presiden," kata dia.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan pemeriksaan anggota DPR, MPR, dan DPD harus seizin Presiden, dinilai masih belum tegas dan jelas.
Menurut Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi, MK seharusnya merinci dugaan tindak pidana jenis apa yang harus seizin Presiden.
"MK seharusnya merinci (dugaan) tindak pidana jenis apa yang dilakukan anggota DPR, yang apabila diperiksa harus seizin Presiden atau melalui Dewan Kehormatan internal," ujar mantan Jubu bicara Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid ini kepada Tribun, Senin (28/9/20150.
Karena, jelas dia, konstitusi pada pasal 27 UUD 1945 sudah menjelaskan bahwa setiap warga negara kedudukannya sama di hadapan undang-undang (equality before the law).
Memang untuk profesi tertentu, lanjut dia, ada pengecualian dalam perlakuan.
Misalnya, wartawan, dokter, pengacara, anggota dewan, dan lainnya.
Tapi perlakuan itu hanya khusus untuk dugaan tindak pidana yang terkait dengan profesinya.
Untuk tindak pidana umum, tetap diberlakukan KUHP. Demkian juga anggota DPR.
Dia hanya dilindungi hukum saat menjalankan tugasnya, yakni dalam pembahasan UU atau saat melakukan pengawasan.
Karena itu, tegas dia, MK seharusnya merinci dugaan tindak pidana jenis apa yang dilakukan anggota DPR yang apabila diperiksa harus seizin Presiden atau melalui Dewan Kehormatan internal.
"Jadi tidak semua (dugaan) tindak pidana, pelanggaran yang dilakukan anggota DPR pemeriksaannya harus seizin Presiden," kata dia.
Sebelumnya dalam sidang yang berlangsung Selasa (22/9/2015), MK memutuskan bahwa permintaan keterangan kepada anggota Dewan yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat izin terlebih dahulu dari Presiden, bukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Putusan ini tidak hanya berlaku untuk anggota DPR, tapi juga berlaku untuk anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Sementara itu, untuk pemanggilan anggota DPRD Provinsi yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.