Mereka yang Terpaksa Mengembara Pasca-Peristiwa Gerakan 30 September 1965
Ratusan warga Indonesia terpaksa hidup "mengembara" dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut.
Editor: Mohamad Yoenus
2. Chalik Hamid: Kuburan Kami Ada di Mana-mana
Warga memperhatikan Diorama Piere Tendean di Museum Jendral Besar A H Nasution Jalan Teuku Umar no 40, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2015). Museum tersebut merupakan rumah tempat tinggal Jendral A.H Nasution dimasa itu dan menjadi saksi sejarah keganasan G30/S PKI. Warta Kota/angga bhagya nugraha
Chalik berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi Peristiwa 30 September 1965.
"Kami tak tahu peristiwa itu. Di Albania sedikit sekali informasi dari luar baik dari radio dan koran sangat terbatas." kata Chalik yang pernah menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Medan.
"Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang".
"Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana."
"Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun," ujarnya.
"Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor."
"(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya," katanya.
"Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi."
"Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana."
"Kuburan kami ada di mana-mana
kuburan kami berserakan di mana-mana
di berbagai negeri, berbagai benua
Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia
paspor kami dirampas sang penguasa
tak boleh pulang ke halaman tercinta
Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan."
Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.