MK Dinilai Hanya Fokus pada Permasalahan dalam Memutus Pasangan Tunggal Pilkada Seretak
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kurang komprehensif dalam membedah permasalahan Pasangan Calon (pasclon) tunggal.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahudin melihat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kurang komprehensif dalam membedah permasalahan Pasangan Calon (pasclon) tunggal.
Karena menurut Said, MK cenderung terfokus pada permasalahan, tetapi tidak mau melihat apa yang sesungguhnya menjadi akar permasalahannya.
"Akar masalah dari munculnya Paslon tunggal itu kan sesungguhnya adalah karena terlalu beratnya persyaratan pencalonan yang ditetapkan oleh UU," ujar Said kepada Tribun, Rabu (30/9/2015).
Sebelumnya, syarat dukungan Paslon yang diusung parpol, misalnya, minimal 15% baik perolehan kursi DPRD ataupun perolehan suara partai pada Pemilu.
Sekarang, UU menaikan persyaratannya menjadi minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara Pemilu.
Akibatnya, kata dia, hanya sedikit Paslon yang bisa diusung parpol.
Lanjut dia, benar parpol diperbolehkan untuk berkoalisi, tetapi itu bukan perkara yang mudah.
"Dulu, saat syarat dukungan Paslon masih terjangkau, kita tidak menjumpai ada kasus Paslon tunggal," jelasnya.
Repotnya lagi, imbuhnya, KPU ikut memperburuk keadaan, membuat aturan yang juga menghambat pendaftaran Paslon.
"Kegiatan penelitian persyaratan yang dilakukan oleh KPUD pada tahap pendaftaran membuat banyak Paslon gagal mencalonkan diri. Padahal, antara tahap pendaftaran dan tahap penelitian adalah dua tahapan yang secara tegas diatur berbeda oleh UU," paparnya.
Akibatnya, ada begitu banyak Paslon yang ditolak pendaftarannya oleh KPUD. Sehingga di beberapa daerah munculah kasus Paslon tunggal.
"Nah, pada soal beratnya persyaratan pencalonan itulah seharusnya MK memainkan perannya," ujar Said.