Jika Tidak Mendukung Calon Tunggal, Apa yang Harus Dicoblos di Bilik Suara?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera merespons MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 dengan membuat peraturan KPU (PKPU) tentang calon tunggal.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera merespons MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 dengan membuat peraturan KPU (PKPU) tentang calon tunggal.
PKPU tersebut memuat beberapa hal yang dianggap penting bagi proses penerapan amar putusan MK tentang diakomodasinya calon tunggal dengan cara “Setuju” atau “Tidak Setuju”.
Komisioner KPU, Ida Budhiarti mengatakan PKPU calon tunggal meliputi aspek; Kampanye, Norma dan Asas Pengadaan, Dana Kampanye, Pemungutan dan Perhitungan suara, Rekapitulasi Perhitungan Suara dan juga Penundaan Pemilihan.
Namun, hal tersebut banyak menjadi sorotan ketika melakukan uji publik di Kantor KPU yang dihadiri oleh beberapa perwakilan partai politik dan juga pemerhati pemilu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni misalnya. Dia mengatakan PKPU calon tunggal masih belum mengakomodasi beberapa ketentuan tentang proses kampanye yang ditawarkan KPU yang berada di daerah, kemudian surat suara yang ditawarkan oleh KPU juga masih perlu perbaikan.
“Beberapa rincian lain yang saya tawarkan adalah PKPU harus dapat mengatur betul tentang strategi sosialisasi calon tunggal kepada KPU di daerah. Itu kan penting, karena sosialisasi ini tidak mudah,” ujarnya saat mengikuti uji publik PKPU calon tunggal di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (7/10/2015)
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz menilai bahwa PKPU juga seharusnya mengatur tentang keterwakilan pemilih yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pasangan calon yang ada. Sehingga asas keadilan juga tercapai dalam pelaksanaan pilkada di tiga daerah yang mempunyai calon tunggal.
Selain itu, menurut dia masalah tahapan dan jadwal juga seharusnya dicantumkan di PKPU tentang calon tunggal tersebut. Meski hanya tiga daerah yang mengalami penundaan sebelumnya, namun jika PKPU ini masih relevan untuk pilkada 2017, maka harus diperbaiki.
“Memang seharusnya banyak turunan dari putusan MK dan tidak mejadi satu PKPU seperti ini. Karena saya melihat masih banyak yang belum tercantum dalam PKPU,” katanya.
Sedangkan dari perwakilan partai politik yang berasal dari DPP PAN, Azis Subekti menilai bahwa PKPU seharusnya mengatur tentang sengketa yang akan dilayangkan oleh masyarakat pada saat tahapan pemilihan. Menurut Azis, harus ada pihak yang terlegitimasi untuk kolom “Tidak Setuju”. Hal tersebut penting mengingat jika banyak pihak yang ternyata tidak setuju dengan calon yang ada.
“KPU harus mengakomodir seluruh elemen masyarakat termasuk yang tidak setuju sekalipun. Tapi yang perlu dipikirkan kembali, siapa yang berhak mewakili “Tidak Setuju” tersebut?” ucapnya.
Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay dalam pemaparannya mengatakan bahwa masukan yang terjadi pada uji publik PKPU tentang calon tunggal, Rabu (7/10), sangat penting sebagai koreksi bagi KPU sebagai penyelenggara pilkada serentak.
“Yang kami inginkan adalah semua pihak dapat setuju dengan apa yang kami kerjakan saat ini. Jadi pada saat kami bawa ini ke pemerintah dan DPR RI, tidak perlu lagi banyak revisi yang terjadi,” tandasnya.
“Tidak Setuju” Juga Sah
Melalui PKPU tentang calon tunggal pasal 23, dijelaskan bahwa, surat suara dinyatakan sah ketika pemilih mencoblos di salah satu kolom yang bertuliskan “Setuju” atau “Tidak Setuju”.
Menurut Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, masyarakat diharapkan untuk tetap menggunakan hak pilihnya di TPS meski mencoblos kolom “Tidak Setuju” di surat suara, karena bagaimana pun, kata Hadar, hal tersebut akan dianggap sah dan terhitung sebagai satu suara.
“Ini yang kami terus sosialisasikan, agar pemilih juga tetap harus mencoblos meski “Tidak Setuju” bukan berarti, ketika mereka tidak setuju kemudian tidak datang ke TPS,” ujarnya.
Dalam poin berikutnya di pasal 23, tertuliskan jika perolehan “Setuju” sama dengan perolehan suara “Tidak Setuju”, maka penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan persebaran wlayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang dan dihitung dari tingkat kabupaten/kota kemudian kecamatan, kelurahan dan TPS secara runut.
Menurut Hadar, hal tersebut merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi KPU sebagai konsekuensi dari putusan MK yang mengakomodir calon tunggal dan akan dilaksanakan pada tahun ini.
“Iya kami akui kesulitan itu. Makanya, kami terus berupaya untuk menyosialisasikan hal ini di tiga daerah. Sehingga tidak perlu lagi merasa aneh dengan pilihan yang ada di surat suara,” tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.