Penyidik Bareskrim Jadwalkan Panggilan Kedua untuk Rektor Universitas Berkley
Surat keterangan sakit dari dokter pun telah disampaikan kuasa hukum LK ke penyidik
Penulis: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Bareskrim Polri kembali memanggil Rektor University of Berkley Michigan America Menteng, LK yang juga tersangka pemalsuan ijazah dan penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.
Sebelumnya pada panggilan pertama Selasa (6/10/2015) kemarin, LK tidak hadir memenuhi panggilan lantaran sakit.
Surat keterangan sakit dari dokter pun telah disampaikan kuasa hukum LK ke penyidik.
"Ya hari ini penjadwalan ulang pemeriksaan LK sebagai tersangka, ini panggilan kedua," kata Kasubdit IV Dittipidum, Kombes Pol Rudi Setiawan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat(9/10/2015).
Rudi menuturkan pihaknya berharap LK bisa kooperatif dan hadir memenuhi panggilan dari penyidik.
Sehingga kasus ini bisa segera rampung dan dimungkinkan ada tersangka lain, selain LK.
"Kami masih tunggu kehadirannya, diharapkan yang bersangkutan kooperatif," tambah Rudi.
Untuk diketahui Bareskrim menetapkan pengelola Universitas Berkeley di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, LK sebagai tersangka karena terbukti melakukan tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tanpa izin, gelar tanpa hak, pemberian ijazah, dan pemalsuan surat keterangan menteri tentang penyetaraan gelar internasional.
Selain menetapkan tersangka pada LK, penyidik juga telah memeriksa beberapa saksi diantaranya mahasiswa, staf Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta penyelenggara.
Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan diketahui jumlah mahasiswa di sana ada sekitar 40 orang.
Untuk bisa mengikuti perkuliahan, mereka diwajibkan membayar Rp 60-70 juta demi bisa mendapatkan gelar PhD.
"Universitas ini berhasil meyakinkan masyarakat yang mencari gelar tinggi. Pengelola tidak melibatkan banyak orang. Pengajar hanya dilakukan oleh para alumni," ujar Rudi.
Agar lebih meyakinkan para korban, diutarakan Rudi pengelola mengajak orang agar masuk ke Universitas Berkley melalui internet dan menyebar brosur serta seolah-olah memiliki kekuatan hukum mampu meyakinkan orang.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan pasal 19 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 subsider pasal pemalsuan dengan ancaman 10 tahun penjara.