Jokowi Disarankan Bangun Konsolidasi Kekuatan Politik yang Lebih Kokoh
Dirinya menyoroti hal tersebut lantaran menilai kerja pemerintahan baru hasil pemilihan presiden 2014 masih terganggu
Penulis: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koordinator Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan, Dimas Oky Nugroho, meminta Presiden Joko Widodo melakukan konsolidasi politik pada semester awal di tahun kedua pemerintahannya.
Dirinya menyoroti hal tersebut lantaran menilai kerja pemerintahan baru hasil pemilihan presiden 2014 masih terganggu kontradiksi dan tarik-menarik kepentingan elite di dalam kabinetnya sendiri.
"Yang diperlukan Jokowi adalah menertibkan berbagai kontradiksi baik di lingkaran Istana maupun dalam kabinet yang setahun ini pertarungannya masih berlangsung, dan lalu membangun sebuah rezim politiknya sendiri guna mensukseskan pemerintahan yang dipimpinnya," kata Dimas dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (21/10/2015).
Menurutnya, apa yang dialami pemerintahan Joko Widodo di tahun pertama sebenarnya sama dengan rezim politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Yakni adaptasi di tahun pertama pemerintahannya. Masa yang disebutnya terjal, tarik-menarik, bahkan berbahaya, sebab berkaitan dengan rekonfigurasi kekuatan politik efektif yang sungguh-sungguh dapat diandalkan untuk membantu penguatan rejim politik saat itu.
Konsolidasi politik itu sepenuhnya di tangan Jokowi, sebab mantan Wali Kota Solo itulah yang menerima mandat rakyat sebagai presiden pada Pilpres 2014 lalu.
Secara umum, Dimas membagi dalam tiga ruang politik yang harus segera dibenahi dan dikonsolidasikannya di tahun kedua pemerintahannya secara segera dan simultan.
Pertama, ruang politik dalam istana yang melibatkan orang-orang lingkar satu yang harus kompeten, jujur dan terpercaya.
Kedua, ruang politik dalam kabinet yang melibatkan orang-orang partai dan profesional.
Dan, ketiga, ruang politik di luar istana luar kabinet yang melibatkan segenap masyarakat politik dan masyarakat sipil.
Pada dua ruang politik pertama Presiden harus segera mengkonsolidasikan kekuatan politik Presiden dengan indikator jelas yakni loyalitas tegak lurus kepada NKRI dan kepada Presiden Jokowi sendiri, serta kapasitas dan integritas yang tinggi.
Di ruang politik ketiga yang dikelola adalah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana yang ditunggu adalah realisasi program-program pemerintah untuk rakyat, sekaligus memobilisasi segenap potensi sosial politik yang tersedia.
Lebih lanjut dirinya berharap, konsolidasi kekuatan politik sebuah pemerintah memang sebaiknya didukung oleh sebuah atau koalisi partai tengah atau partai pemerintah yang kokoh.
Namun jika tidak terbangun (karena terjadi kontradiksi), maka solusinya membangun kekuatan politik beyond party.
"Bisa lintas partai, bisa kaum akademisi dan profesional. Syaratnya adalah punya kemampuan, cinta pada bangsa ini, tidak gila pencitraan atau cari aman serta loyal pada Presiden. Terutama harus berjiwa merah putih," katanya.
Sementara itu pengamat dari Institute for Development Ekonomi and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, satu tahun pemerintahan Jokowi-JK sudah berhasil melakukan beberapa hal.
Salah satunya adalah penghematan anggaran dengan mengurangi subsidi dan pemangksan izin investasi yang selama ini terlalu berbelit.
Namun yang perlu menjadi catatan adalah angka kemiskinan meningkat sebesar 10,96 persen.
"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2015 angka kemiskinan pada Maret 2015 sebanyak 28,59 juta atau naik 11,22 persen. Artinya bertambah 860 ribu orang dibandingkan pada September 2014 dengan penduduk miskin sebanyak 27,73 juta jiwa atau 10,96 persen dari total penduduk Indonesia," katanya.
Menurut Berly meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh naiknya harga harga pangan yang sempat terjadi beberapa waktu lalu.
"Meningkatnya angka kemiskinan juga salah satunya disebabkan oleh kenaikan harga beras yang sempat mencapai 25 persen," kata Berly.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) ini menyarankan pemerintah untuk memperbaiki data pangan.
Sebab selama ini perhitungan data pangan masih menggunakan metode yang lama berdasarkan estimasi.
"Kalau sekarang masih estimasi lahan dikali produktifitas. Jadi kualitas datanya harus ditingkatkan. Tapi dengan usaha pemerintah yang cepat mengatasi lonjakan harga pangan tersebut, kini mungkin angkanya sudah berubah lagi," kata Berly.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.