Presiden Diminta Kabinetnya Tak Obral Remisi Koruptor
revisi tersebut berpotensi besar kontra semangat dengan penjeraan koruptor
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang hak warga binaan kembali menyeruak dalam masa pemerintahan Jokowi-JK.
Padahal, menurut Peneliti ICW, Lalola Easter, revisi tersebut berpotensi besar kontra semangat dengan penjeraan koruptor dan pemberantasan korupsi, karena hendak meniadakan syarat pengetatan penerimaan remisi.
Sebagaimana diketahui, ada sejumlah syarat penerimaan remisi koruptor yang diperketat melalui PP 99/2012 ini yaitu, kewajiban untuk membayar denda dan uang pengganti, bersedia menjadi saksi pelaku yang bekerja sama, dan mendapat pertimbangan khusus pertimbangan tertulis dari lembaga terkait yang menangani perkara.
"Adapun syarat yang diwacanakan untuk dihapus adalah keharusan menjadi saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator), padahal syarat ini sangat penting untuk mengungkap pelaku utama dan perkara korupsi yang sejelas-jelasnya," kata Lalola dalam diskusi di Puri Imperium, Jakarta, Kamis (29/10/2015).
Untuk itu, dalam rekomendasinya terhadap satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, kata Lalola seharusnya Presiden Jokowi memastikan revisi tersebut tidak terjadi, karena akan kontraproduktif dengan upaya memberhangus rasuah. Artinya, tidak mengobral remisi kepada pelaku kejahatan korupsi.
Selain itu, lanjut Lalola, perlu juga dipertimbangkan untuk tidak memberi remisi bagi koruptor, kecuali yang bagi napi korupsi yang memenuhi syarat dalam Pasal 34 A PP 99/2012, sehingga presiden harus memastikan bahwa SE Menkumham terkait pembatasan penerapan PP 99/2012 harus dicabut oleh Menkumham.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.