Pemberian Remisi dalam RUU KUHP Dinilai Diskriminatif
"Indikator pemberian remisi malah menjadi tidak jelas," kata Ibrani.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Julius Ibrani, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyatakan pemberian remisi dalam RUU KUHP bersifat diskriminatif.
Sebab, kata Julius, di satu sisi bisa saja tiba-tiba koruptor atau narapidana korupsi dapat remisi dari Kementerian Hukum dan HAM namun di sisi lain pemerintah masih mencanangkan adanya aturan hukuman mati dalam RUU KUHP tersebut.
Seperti diketahui, dalam draf RUU KUHP Pasal 58 mengatur soal dimungkinkan adanya perubahan putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengajukan permohonan.
Permohonan tersebut dapat diajukan si narapidana, orangtua narapidana, walinya, penasihat hukum narapidana tersebut, jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.
Yang lebih disayangkan lagi, dengan rancangan KUHP itu kata Julius, pemerintah bisa menjadikan hari-hari besar di kalender sebagai momen untuk memberikan remisi kepada narapidana. Walaupun dengan syarat yang diatur kembali oleh peraturan di bawahnya.
"Indikator pemberian remisi malah menjadi tidak jelas. Karena itu diperlukan reformasi hukum agar diatur pengetatan tata cara pemberian remisi," kata Julius.