Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wakil Ketua DPD Bisa Pahami Kapolri Keluarkan Surat Edaran Ujaran Kebencian

Farouk Muhammad memahami maksud Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menandatangi Surat Edaran engenai penegasan penanganan ujaran kebencian(hate speech)

Editor: Adi Suhendi
zoom-in Wakil Ketua DPD Bisa Pahami Kapolri Keluarkan Surat Edaran Ujaran Kebencian
TRIBUNNEWS/TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)Farouk Muhammad 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Farouk Muhammad memahami maksud Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 telah menandatangi Surat Edaran (SE) bernomor SE/06/X/2015 mengenai penegasan penanganan ujaran kebencian (hate speech).

“Saya dapat memahami dan mendukung pelaksanaan secara efektif kebijakan tersebut menilik beberapa keluhan warga akan adanya kenyataan, terutama di media sosial, yang acapkali mengekspresikan kebencian dalam berkomunikasi,” kata Farouk dalam keterangan persnya, Sabtu (7/11/2015).

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan menjelaskan bahwa surat tersebut merupakan hasil pembelajaran untuk mencegah terjadinya kembali konflik horizontal seperti di Tolikara Papua dan Aceh Singkil, meskipun penerbitan SE tersebut memunculkan pro dan kontra di masyarakat.

Farouk menambahkan, amat disayangkan bahwa acapkali pernyataan melalui media sosial dilakukan dengan mendramatisasi fakta, baik yang ditujukan antarperorangan maupun kelompok termasuk antaragama/ajaran internal agama yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik SARA.

SE tersebut juga dipandang bermanfaat untuk menyikapi persaingan dalam Pilkada dengan jalan saling melontarkan kebencian yang tidak mendasar untuk mendongkrak popularitas pasangan calon. Metode kampanye semacam ini jauh dari nilai-nilai demokrasi dan tujuan mulia Pancasila.

Namun demikian Guru Besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini memandang perlu memberi catatan agar pelaksanaan SE tersebut tidak memunculkan ekses negatif.

Pertama, penerapan SE haruslah mengacu kepada norma hukum yang telah berlaku, terutama KUHP, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 2/2002 tentang Polri, UU No. 12/2008 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Berita Rekomendasi

Ujaran kebencian itu umumnya berisi penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah dan semacamnya sehingga acapkali dipandang sebagai pasal karet, bahkan rentan menjadi ajang kriminalisasi.

“Oleh sebab itu, catatan kedua saya, penanganan kasus demikian semestinya tidak didasarkan atas penilaian subyektif penyidik melainkan harus didasarkan atas bukti yang kuat untuk memenuhi unsur pidana. Penanganannya harus transparan serta mengedepankan akuntabilitas publik. Oleh sebab itu, setiap pengusutan kasus ujaran kebencian harus diawasi dengan ketat oleh atasannya.” jelasnya.

Selajutnya Mantan Kapolda Maluku dan Nusa Tenggara Barat (NTB) ini memaparkan, harus ada pembedaan antara ujaran kebencian dan kritik.

Pernyataan kritis terhadap pejabat publik harus dapat dilihat sebagai sebuah proses demokrasi yang sehat.

Terbitnya SE, dengan demikian, tidak boleh membungkam kebebasan berpendapat dan harus ada jaminan bahwa masyarakat sipil tetap dapat leluasa menyampaikan kritik kepada pemerintah atau pejabat publik.

Perlu digarisbawahi, bahwa seseorang tidak bisa dihukum karena pemikirannya, melainkan atas keberwujudan pemikirannya-yakni bila ia telah merugikan orang lain. Sebaliknya, kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk menghujat pihak lain.

Sangat memprihatinkan bahwa hujatan terhadap pejabat publik, atau kelompok lain, bahkan acapkali masuk ke ranah privat.

“saya hendak mengimbau kepada segenap komponen bangsa untuk mengakhiri lontaran-lontaran kebencian. Setiap warga negara harus dapat berekspresi secara santun, saling mengkoreksi diri dan saling mengingatkan. Pada saat yang bersamaan, para pejabat negara dan tokoh publik sepatutnya menjadi teladan masyarakat,” ajak Farouk.

Dalam demokrasi yang sehat, dikatakannya sebuah kewajiban untuk berekspresi dengan menghormati sesama warga negara, rasional, dan mengedepankan keutuhan bangsa.

"Saya berharap, jangan sampai semangat reformasi dalam membangun pemerintahan yang bersih terbelenggu oleh kriminalisasi atau, sebaliknya, ramai oleh ujaran kebencian. Marilah kita bersama-sama memberikan kritik yang sehat dan berkomunikasi secara beradab," ungkapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas