Pariwisata Harus Didekati dengan Professional kata Arief Yahya
Ada bisul kecil, yang sayup-sayup terdengar di lingkungan Kemlu, terkait kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) yang total 90 negata itu
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada bisul kecil, yang sayup-sayup terdengar di lingkungan Kemlu, terkait kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) yang total 90 negata itu. Bermula dari kehilangan potensi USD 35 dari biaya visa masuk.
Sekalipun itu tidak terucap, tidak terdengar dalam diskusi, tidak ada sinyal, tapi dengan segala kesantunannya, Menpar Arief Yahya cukup paham suasana batin itu.
Di mana saja, yang namanya deregulasi selalu menciptakan kontraksi. Ada yang pro, ada yang kontra. Itu normal-normal saja, termasuk dalam manajemen.
Plus minus itu selalu datang silih berganti. Risiko dan benefit itu mirip dua sisi mata uang yang harus diambil oleh seorang CEO-Chief Executive Officer. Risiko itu ada di mana-mana, termasuk risiko untuk maju dan memenangi pertandingan.
“Bisnis itu risk taker, kalau tidak berani ambil risiko bisnis, sebaiknya bergerak di yayasan sosial saja,” ungkap Menpar Arief Yahya.
Mirip dengan dunia telekomunikasi. Arief Yahya yang 10 tahun menjadi Komisaris Telkomsel (2-3 tahun Kumit, red) itu lagi-lagi mencontohkan starter pack, atau kartu perdana.
Dulu seandainya Telkomsel kekeh untuk menjual Rp 100 ribu, hasilnya pasti kalah bersaing dengan rivalnya Indosat dan XL yang berani mematok harga Rp 10 ribu, Rp 2 ribu, sampai free. Itu menyadarkan, bahwa bisnis telekomunikasi itu bukan di starter pack. Bukan mengejar untung di muka, saat orang membeli kartu perdana, tetapi services pada pulsa.
Karena itu harus menjaga kualitas layanan, tidak putus nyambung, tersebar di seluruh Indonesia, dan aneka layanan lainnya.
Kartu Perdana yang dulu itu sudah mahal? Cara membelinya harus di Grahapari? Atau di kantor-kantor resminya Telkomsel? Sangat terbatas pintunya?
“Wong mau beli produk kita kok sulit? Sama dengan Bebas Visa, mau datang berwisata ke Indonesia saja kok harus mengurus Visa lama? Tempatnya juga terbatas? Bagaimana kalau tinggal di kota yang jauh dari kantor perwakilan Indonesia di kota itu? Harus menunggu lama lagi? Wajar jika Malaysia dengan 164 Negara bebas masuk tanpa visa itu menghasilkan 27 juta wisman, tiga kalinya Indonesia yang hanya 9 juta?” jelas Arief Yahya yang didampingi I Gede Pitana (Deputi Pemasaran Luar Negeri dan Nia Niscana (Asdep Eropa-Amerika, Afrika dan Asia Timur Tengah) itu.
Kita memang kehilangan USD 35 per kelapa dari pengurusan visa yang datang ke Indonesia. Tetapi, itu hanya berapa persen, sangat kecil, dibandingkan dengan turis yang membelanjakan duitnya ke Indonesia. Rata-rata USD 1.200 untuk Asia, Australia, USD 1.500 untuk Arab Saudi, USD 1.750 rata-rata untuk UAE. Pariwisata, telekomunikasi, transportasi, itu mirip.
“Saya bisa membayangkan untuk sukses mengalahkan Malaysia dan Thailand sekalipun. Syaratnya, harus kompak, Indonesia Incorporated, seperti yang terjadi di dua negara tetangga itu,” ungkapnya.
Akan halnya soal pencabutan peraturan soal CAIT untuk Yacht atau perahu pesiar, dan Cabotage untuk Cruise, kapal pesiar. CAIT itu satu-satunya di dunia, hanya ada di Indonesia. Mengurus dokumen izin masuk ke perairan Indonesia, butuh 3 minggu, akhirnya mereka memilih Singapore dan Perth dan Darwin. Kadang luberannya ditangkap ke Malaysia dan Thailand.
“Padahal, surganya bahari di dunia itu ya Indonesia, yang selalu kita promosikan dengan 17.000 pulau itu,” kata Menpar Arief Yahya.
“Ada 5.000 sampai 10.000 yacht yang sailing di sekitar Indonesia, yang parkir di Marina Singapore dan Australia. Yang masuk baru 700-an. Mereka hanya menjadikan perairan Indonesia sebagai halaman tempat bermain, tidak sampai mengetuk pintu, dan masuk ke rumah maritim Indonesia. Rumitnya perturan yang membuat mereka mundur sebelum mengurus. Inilah yang ingin saya katakan, jangan terlalu mengedepankan risiko, jangan menakut-nakuti dan menempatkan risiko sebagai poin paling dominan. Jangan horror, nanti orang takut datang,” papar Arief yang dinobatkan sebagai The Most Inspirational CEO oleh Mens Obsession Award 2014, lalu Green CEO, The Best Green CEO Majalah Warta Ekonomi 2014, dan juga The Best CEO 2014 Indonesia Leadership Award SWA itu.
Pendekatan security itu harus perfect, dia setuju. Tidak ada yang bisa membantah itu, karena security memang prasyarat utama pengembangan pariwisata.
Kalau banyak bajak laut, sarang teroris, banyak perampok, pencuri dan negara tidak sanggup mengatasinya, itu juga persoalan besar bagi pariwisata.
Tetapi, khusus Yacht (perahu berisi 4-5 orang, biasanya berwarna putih, dengan layar terkembang, red) itu hampir pasti wisatawan yang berkantung tebal. Bukan imigran gelap, bukan pula teroris yang menyamar.
“Satu Yacht itu rata-rata menghabiskan Rp 1M, untuk sailing. Kalau kita bisa menangkap 5.000 yacht, sudah akan memutar Rp 5 Triliun, dari mengelola sektor wisata bahari ini. Bagaimana untuk memperkecil risiko? Gunakan teknologi! Semua yacht yang masuk diharuskan memasang alat multifungsi, bisa untuk kode elektronik, yang berisi data kapal, data penumpang, scanning file passport, nomor mesin dan rangka, dan bisa dipantau dengan satellite,” urai pengarang buku bertema marketing dan manajemen “Paradox Marketing” dan “Great Spirit Grand Strategy” yang best seller itu.
Dijamin, 100 mill sebelum sampai di satu pulau, yacht itu sudah bisa dideteksi, bisa dipantau, bisa diajak komunikasi, bisa diarahkan dan bisa diantisipasi. Jika tidak mengikuti aturan, tindak yang tegas. Teknologi akan menjawab keraguan akan security para yachter itu.
“Kalau mau menang, memang ada risikonya. Seperti main tenis saja, kalau mau mematikan lawan itu harus berani smash. Padahal smash yang salah bisa menyangkut net, bisa bola keluar, bisa pukulannya tidak kena. Kalau tidak berani ambil risiko, ya tidak usah main, dan dipastikan tidak akan bisa memenangkan pertandingan,” kata pria lulusan Teknik Elektro Telekomunikasi, Institut Teknologi Bandung (ITB) 1986, Master of Science Telematics, University of Surrey, UK, 1994 Ilmu Ekonomi - Manajemen Bisnis, Unpad Bandung, 2014 itu.
Analogi bermain tenis itu sama dengan bermain games. Ada 100 bola di acak di depan petak penalty 16 meter dari gawang. Di tata acak, ada yang berjarak 2 meter dari gawang, sampai 10 meter. Aturannya, kalau masuk ke gawang dapat poin 1, kalau gagal minus 1.
Bagi penguasaha, yang risk taker, pasti diambil semua peluang itu. Ditendang semua, mau gol atau tidak, itu urusan belakang. Sebaliknya, bagi yang berpendekatan security, takut tidak masuk, takut dibilang “gak mampu”, takut membentur mistar gawang, takut belok kiri kanan, pasti hanya ambil yang 10 persen masuk saja, dan jumlahnya paling tidak lebih dari 10 persen.
Sebaliknya bagi pengusaha, ambil semua, tendang semua, taruh ada 10-20 persen yang gagal, masih sukses dengan 80 persen bola masuk ke gawang?
“Pariwisata harus didekati dengan professional, dengan bisnis, dengan industri services. Tidak bisa ditangani dengan prosedur security,” kata dia, yang penting bukan negara penyebar virus radikalisme dan ideologi kekerasan seperti ISIS dan bukan negara penebar maut narkoba.
Diskusi bersama Desra Percaya, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Muhamad Anshor, Dubes/Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, Brigjen Jamaludin, Penasehat Militer, bersama Kamapradipta Ismono, Masni Eriza dan Achsanul Habib itu sangat berkualitas dan sama-sama mencerahkan.
Arief mencontohkan pasar Timur Tengah yang potensial ke Indonesia, yang 90 persen lebih penduduknya muslem.
Yang banyak masjid dan mushala, dan selama 5 waktu suara adzan mengalun di mana-mana. Tetapi kenapa wisman Middle East hanya 150 ribu ke Indonesia? Lihat Malaysia, ada 300 ribu, dan Thailand 600 ribu?
“Jadi bukan karena kesamaan ideology dan agama kan? Lebih karena services, mereka merasa lebih aman, lebih nyaman, lebih mudah mengurusnya, lebih gampang aksesnya? Kita kalah bersaing secara professional, padahal jaraknya dekat?” tutur Menteri Pariwisata Indonesia ke-14 itu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.