Apa yang Kau Cari, Novanto
Judul artikel ini diilhami film garapan sutradara kondang Indonesia era 1960-an, Asrul Sani, Apa yang Kau Tjari, Palupi?
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
TRIBUNNEWS.COM - Judul artikel ini diilhami film garapan sutradara kondang Indonesia era 1960-an, Asrul Sani, Apa yang Kau Tjari, Palupi?
Film tersebut mengisahkan dua sejoli suami istri. Haidar, sang suami, amat setia pada pekerjaannya sebagai penulis naskah teater walau harus hidup miskin.
Istrinya, Palupi, tidak mencintai siapa pun kecuali dirinya sendiri, kurang puas terhadap keadaan ekonomi keluarga, dan berupaya untuk dapat hidup lebih nyaman dengan menjadi bintang film.
Namun, Palupi akhirnya menerima kenyataan bahwa apa yang ia kejar hanyalah sebuah fatamorgana. Film ini mendapatkan penghargaan sebagai Film Terbaik Asia pada 1970.
Makna yang terkandung dalam film itu masih relevan dengan masa kini. Setya Novanto, politisi Partai Golkar yang telah menjadi anggota DPR selama empat periode (1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019) dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur II, yang mencakup Pulau Timor, Rote, Sabu, dan Sumba, serta terpilih sebagai Ketua DPR periode 2014-2019, adalah politisi yang tidak puas terhadap apa yang telah dicapainya saat ini.
Ia pun masih memiliki angan-angan menjadi Ketua Umum Partai Golkar, suatu posisi yang tinggal selangkah lagi ia raih karena ia memiliki pengaruh cukup besar di partai itu.
Kalau sudah jadi Ketua Umum Partai Golkar, ia juga bisa menjadi calon presiden RI.
Ia juga amat kaya raya, baik karena posisinya sebagai komisaris perusahaan maupun direktur utama berbagai perusahaan.
Uang dan politik
Dalam teori M-P-MM-MP, seorang politisi yang mendasarkan perolehan kekuasaannya melalui transaksi ekonomi dan politik, untuk mendapatkan kekuasaan (P = Power), ia tentunya membutuhkan uang (M = Money).
Dari power yang ia miliki, ia bisa mendapatkan uang lebih banyak lagi (MM = More Money), dan dari MM itu ia bisa mendapatkan kekuasaan lebih besar lagi (MP = More Power). Begitu seterusnya sampai angan-angannya meraih kekuasaan tertinggi tercapai.
Teori ini juga berlaku bagi para "politisi tiban", yaitu politisi yang tidak memiliki latar belakang sebagai aktivis, tetapi kaya dan tiba-tiba terjun sebagai politisi.
Teori ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat atau negara yang demokrasinya belum matang, tetapi juga di Indonesia yang telah melaksanakan reformasi politik sejak 1998.