Politikus Hanura: Wajar Presiden Jokowi Marah
Hal itu dapat ditindaklanjuti oleh Presiden mengenai pencatutan namanya
Penulis: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Sarifuddin Sudding menilai wajar kemarahan Presiden Joko Widodo terkait kasus pencatutan nama yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.
Hal itu dapat ditindaklanjuti oleh Presiden mengenai pencatutan namanya.
"Saya kira wajar. Sangat wajar, Jokowi marah dan tidak hanya sekedar marah," kata Sudding ketika dikonfirmasi, Selasa (8/12/2015).
Menurut Sudding, Presiden Joko Widodo harus segera menindaklanjuti dengan tindakan dalam bentuk Laporan ke institusi penegak hukum.
"Ketika dia merasa namanya dicatut. Ketika dia merasa namanya difitnah, namanya dicemarkan ya laporkan," kata Politikus partai Hanura itu.
Suding melihat MKD masih bekerja dengan baik. Ia pun membantah tudingan MKD sedang masuk angin saat memeriksa Setya Novanto.
"Tidak salah dia marah. Harusnya ditindaklanjuti dengan melaporkan orang-orang yang mencatut namanya," imbuhnya.
Sebelumnya saat di Istana Negara, suara Presiden Joko Widodo meninggi ketika menanggapi pertanyaan awak media seputar kelanjutan kasus pencatutan nama yang dilakukan Ketua DPR, Setya Novanto atau sering disebut 'papa minta saham', wajah Presiden terlihat marah.
Tangannya sambil menunjuk ke arah awak media, meski tidak bermaksud memarahi media. Suaranya pun terdengar tegas, hingga suasana menjadi hening
"Sudah saya sampaikan, tidak boleh lembaga negara itu dipermainkan. Itu bisa Presiden dan lembaga negara yang lain," ujar Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12/2015).
Presiden mengatakan tidak masalah jika ada yang menghina dirinya seperti yang terdengar di rekaman diduga suara pengusaha Riza Chalid yang sedang berbincang dengan Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI),Maroef Sjamsoeddin.
"Saya enggak apa-apa katakan Presiden gila, sarap, koppig," kata Presiden.
Namun, Presiden menegaskan, dirinya tidak menyukai jika ada yang mencatut namanya, apalagi meminta saham sebesar 11 persen.
Sebab menurutnya hal itu melanggar etika dan bertentangan dengan moralitas.
"Tapi kalau menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen itu saya enggak mau. Enggak bisa! Ini masalah kepatutan, kepantasan, etika, moralitas dan itu masalah wibawa negara," kata Presiden