Tiga Faktor Pesta Pilkada Serentak Sepi Pemilih
Sudah rahasia umum jalannya pilkada serentak aman dan lancar tapi mirisnya partisipasi pemilih mengkhawatirkan. Apa saja faktornya?
Penulis: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Target partisipasi pemilih dalam pilkada serentak 9 Desember 2015 sebesar 77,5 persen yang dipatok Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia meleset.
Kekurangan itu tak melulu penyelenggara pilkada tapi juga disebabkan peserta calon pilkada serentak dan keadaan sosial yang melingkupinya, padahal legitimasi mayoritas yang berpatisipasi menjadi dasar kepala daerah terpilih menjalankan kelak roda pemerintahannya.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, menilai KPU menghendaki partisipasi tinggi bertujuan mewujudkan agar pemimpin terpilih benar-benar berasal dari mayoritas suara rakyat, tapi apa boleh buat banyak faktor yang membuat partisipasi pemilih timpang.
"Pertama, terbatasnya pilihan pasangan calon dari yang diajukan partai politik, karena mayoritas daerah pilkada yang hanya diikuti oleh dua sampai tiga pasangan calon tidak secara maksimal mengakomodasi aspirasi masyarakat pemilih," ujar Masykurudin dalam keterangannya yang diterima Tribunnews.com, Jumat (11/12/2015).
Keterbatasan pasangan calon kepala daerah berpartisipasi harus diakui terbentur bukan pada kualitas, sehingga mau tak mau partai politik berpaling pada pasangan calon populer dan bermodal besar yang pada akhirnya membuat masyarakat terpaku pada pilihan yang ada.
"Kedua, perbedaan antara janji kampanye dengan realitas politik nasional. Terlihat, mayoritas materi kampanye pasangan calon adalah pemberantasan korupsi, pengelolaan pemerintahan yang transparan dan pengalokasian anggaran yang memihak rakyat," kata Masykurudin.
Sayang seribu sayang, janji kampanye tak sebangun dengan apa yang terjadi di tingkat nasional, diperparah oleh praktik-praktik koruptif yang berulang sepanjang tahun. Jangan salahkan ketika keraguan masyarakat merumuskan toh siapa pun pemimpin yang memutar roda pemerintahannya tak benar-benar bersih dari praktik kotor korupsi.
Faktor terakhir, imbuh Masykurudin, turunnya aktivitas sosialisasi dan pendidikan pemilih oleh penyelenggara pilkada serentak, mau tak mau harus diakui bahan kampanye yang disajikan KPU masih dipahami secara politis justru diterjemahkan oleh pasangan calon kepala daerah sementara jumlah kegiatan sosialisasi tatap muka oleh penyelenggara pilkada berkurang.
"Lihat saja, aktivitas sosialisasi KPU pun kurang melibatkan jumlah aktor, tokoh dan pegiat pendidikan pemilih di masyarakat sehingga ajakan datang ke TPS menggunakan hak suaranya berkurang," terang dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.