'Banjir' Sengketa Pilkada Serentak di MK
terdapat 76 permohonan sengketa pilkada serentak yang masuk dari 264 daerah yang menyelenggarakan pemilihan pada 9 Desember lalu.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan setidaknya terdapat 76 permohonan sengketa pilkada serentak yang masuk dari 264 daerah yang menyelenggarakan pemilihan pada 9 Desember lalu.
Permohonan masih akan terus bertambah, mengingat MK masih membuka pendaftaran hingga 22 Desember mendatang.
"Kami masih terus membuka permohonan dan secara filosofi, kami tidak bisa menolak permohonan tersebut. Jadi masih kemungkinan lebih dari data yang ada," ungkap Guntur, Minggu (20/12/2015).
Namun, Guntur menjelaskan bahwa MK juga dapat menerima permohonan dari yang pemohon tentang putusan hasil pemilihan (PHP) jika mempunyai alasan yang jelas dan sesuai dengan objek sengketa. Sehingga, bukan hanya berdasarkan angka yang ada di dalam pasal 158 UU No 8 tahun 2015 tentang pilkada.
"18 Januari kami akan umumkan, putusan dismissal (tahap pemeriksaan persiapan,red). Kalau tidak sesuai antara yang digugat dengan objek gugatan, maka tidak akan kami proses," tambahnya.
Proses dismissal akan dilakukan oleh MK ketika gugatan sudah semua masuk pada 22 Desember, serta akan diseleksi oleh panitera dan juga hakim MK. Namun, mengingat 22 Desember merupakan hari penetapan pasangan calon di daerah yang belum lakukan penetapan, maka MK akan memperpanjang pendaftaran gugatan hingga 25 Desember.
Dirinya menjelaskan permohonan sengketa pilkada serentak sudah tertuang di pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada Serentak yang menyebutkan bahwa pembatalan pasangan calon terpilih, hanya dapat disengketakan jika, pertama selisih suara dari 0,5 persen hingga 1 persen pada daerah yang mempunyai jumlah penduduk hingga 12 juta jiwa. Kedua, 1 persen hingga 1,5 persen untuk wilayah yang mempunyai jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta jiwa.
Serta, selisih suara 2 persen untuk daerah yang mempunyai jumlah penduduk kurang dari dua juta jiwa. Sehingga sengketa dapat diproses oleh MK. Diluar itu, putusan KPU atas penetapan pemenang pilkada dianggap sah.
Pasal tersebut, ungkap Guntur menjadi celah masuknya permohonan sengketa pilkada serentak, beberapa diantara pemohon juga membawa sengketa lain untuk dipersidangkan.
Hal itu juga diamini oleh Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay yang mengatakan bahwa banyak sengketa yang saat ini diadukan ke MK justru bukan dari selisih perolehan suara, melainkan hal lain terkait tahapan pilkada serentak.
"Ada yang minta sengketa soal daftar pemilih tetap, ada juga yang kasih permohonan soal aparatur sipil negara yang ikut dalam kampanye pada saat masa kampanye," kata Hadar.
Untuk mempersiapkan gugatan tersebut, KPU RI membuat pelatihan seluruh komisioner KPU daerah yang dijadwalkan pada 20 - 23Desember mendatang guna menyamakan visi dan misi serta persiapan administrasi secara baik.
Mahkamah 'Kalkulator'
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini berharap Mahkamah Konstitusi bukan menjadi Mahkamah Kalkulator, tapi MK harus menjadi pengadilan pemilu yang menegakkan prinsip pemilu, jujur adil dan demokratis, MK adalah benteng terkahir pencari keadilan.
"Oleh karena itu, MK harus keluar dari kungkungan angka-angka persentase selisih. Angka persentase pemilih bisa jadi masuk akal, jika pemilunya sudah dijamin 100 persen terbebas dari pelanggaran dan kecurangan. namun ada indikasi juga bahwa angka-angka tersebut diperoleh dari cara curang yan manipulatif dari perbuatan yang jahat. JIka demikian, maka tidak ada lagi orang yang dapat mencari keadilan," tegas Titi.
Titi juga berharap Mahkamah Kosntitusi harus substansial dalam menegakkan keadilan tidak hanya prosedural. Menurutnya prosedural pun bisa bermasalah kalau prosedurnya terjadi dan diperoleh dari kecurangan. MK, kata Titi seyogyanya harus membebaskan diri dari sekat kecurangan.
Selain lembaga pengadilan tersebut, dia juga mengharapkan agar pasangan calon harus rasional dan realistis. Mereka harus mampu membuktikan permohonan atau dalil-dalilnya bahwa memang mereka tidak sepatutnya memberi permohononan. Bukan justru memaksakan kehendak.
"Pasangan calon harus rasional dan realistis. Bahwa memang suara mereka demikian adanya, jangan memaksakan diri agar tidak mengalami rugi dua kali. Sudah rugi di pemilihan, ditambah lagi biaya untuk proses ke MK, apalagi kalau mereka yang jauh dari Jakarta," imbau Titi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.