Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Aset JICT Harusnya Dikelola Penuh Oleh Negara

Jakarta International Container Terminal (JICT) yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok sejatinya merupakan aset negara strategis.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Gusti Sawabi
zoom-in Aset JICT Harusnya Dikelola Penuh Oleh Negara
Harian Warta Kota/henry lopulalan
BONGKAR MUAT PETI KEMAS - Suasana bongkar muat peti kemas di JICT,Tanjung Priok, Jakarta Utara (10/11/2015). Pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia sedang berbenah agar keluar masuk barang cepat terlayani. Warta Kota/henry lopulalan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jakarta International Container Terminal (JICT) yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok sejatinya merupakan aset negara strategis. Untuk itu JICT harusnya dikelola negara melalui BUMN dengan kepemilikan saham 100 persen.

Pengelolan sepenuhnya oleh BUMN merupakan manfestasi dari Kedaulatan Ekonomi, seperti yang diamanahkan konstitusi pasal 33 UUD 1945.

"Awalnya 100 persen saham JICT dimiliki negara yang dikelola oleh PT Pelindo II, sebagai representasi Negara. Pada saat krisis moneter 1997, atas tekanan dan desakan IMF, Pemerintah melakukan Privatisasi dengan menjual JICT kepada Perusahaa Asing, Huntchison Port Holdings (HPH), yang berkedudukan di Hongkong. Melalui Pelelangan Terbuka, JICT dijual dengan nilai USD 243 juta," kata peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi di Jakarta, Sabtu (26/12/2015).

Menurutnya, perubahan komposisi kepemilikan saham baru, HPH menguasai mayoritas sebesar 51 persen, sedangkan Pelindo II sebesar 49 persen. Jangka waktu konsesi selama 20 tahun, dimulai pada 2009 berakhir pada 2019.

Fahmy yang juga Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas ini menjelaskan, Sejak 27 Juli 2012, kata Fahmy, Diretur Utama Pelindo II RJ Lino sudah merintis proses perpanjangan kontrak JICT. Namun, lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungandi era Pemerintahan SBY tidak memberikan izin, Lino belum bisa memperpanjang kontrak.

"Berbeda dengan sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno justru mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak pada 9 Juni 2015. Hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN, tanpa izin konsesi Otoritas Pelabuhan dari Menteri Perhubungan, RJ Lino nekat memutuskan untuk menandatangani perpanjangan kontrak JICT pada Juli 2015," ujarnya. Padahal, perpanjangan kontrak itu tidak tercantum dalam RKAP dan RLIPS Pelindo II 2015.

Komposisi saham tidak berubah, yakni Pelindo II sebesar 48,9 persen, Kopegmar 0,10 persen, dan HPH tetap memegang saham mayoritas sebesar 51 persen. Jangka waktu berakhimya konsesi menjadi hingga 2039 dengan nilai penjualan saat perpanjangan kontrak sebesar US$ 215 juta. "Keputusan sepihak dalam memperpanjang kontrak JICT dilakukan oleh RJ Lino, yang didukung sepenuhnya oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, telah melanggar peraturan perundang-undangan, di antaranya UU tentang BUMN yang menyebutkan bahwa tidak ada nomenklatur tentang izin prinsip yang dikeluarkan oleh menteri BUMN," katanya. Lebih lanjut dia juga menyoroti soal Keputusan Menteri BUMN tentang Penyusunan RKAP.

Berita Rekomendasi

Selain itu, juga pelanggaran atas UU tentang Pelayaran dan PP Nomor 61/2009 tentang Pelayaran. "Dalam hal perpanjangan kontrak yang melibatkan pihak ketiga, seharusnya mendapatkan izin konsesi terlebih dahulu dari Kementerian Perhubungan cq Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok," kata Fahmy. Selain melanggar peraturan perundangan, lanjut dia, perpanjangan kontrak JICT juga merugikan negara.

Dia menjelaskan, nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 sebesar US$ 215 itu lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar US$ 231 juta. "Jika kontrak tidak diperpanjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp 2,99 triliun, sedangkan penghasilan sampai dengan 2039 mencapai Rp 36,5 triliun, dan total penghasilan Pelindo II sebesar Rp 39,49 triliun.

Jika kontrak diperparjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp 2,99 triliun dan penghasilan sampai 2039 Rp 17,89 triliun. Total penghasilan Pelindo II sebesar Rp 20,85 triliun, lebih kecil dibandingkan pendapatan jika kontrak tidak diperpanjang," katanya. Untuk itu, berhubung perpanjangan kontrak JICT melanggar perundangan dan merugikan negara, dia mendesak kepada pemerintah untuk membatalkan kontrak perpanjangan JICT yang telah ditandatangani Direktur Utama Pelindo II RI Lino pada Juli 2015.

Selain itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban, dia menilai Menteri BUM sebaiknya mengundurkan diri dari jabatannya. Sebab, Menteri BUMN dianggap telah melakukan pembiaran dan mendukung upaya Direktur Utama Pelindo II dalam perpanjangan kontrak JICT.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas