KontraS Sebut Ada Tren Pembatasan Hak Sipil dan Kebebasan Berpendapat di Era Jokowi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melihat ada tren kebijakan Pemerintahan Joko Widodo yang menuju arah pembatasan hak si
Penulis: Valdy Arief
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melihat ada tren kebijakan Pemerintahan Joko Widodo yang menuju arah pembatasan hak sipil dan kebebasan berpendapat.
Hal tersebut disimpulkan Aktivis Kontras Bidang Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Wira Taru, setelah melihat perkembangan kebijakan selama 2015.
Dugaan adanya tren tersebut, dikuatkan dengan munculnya kembali pasal penghinaan terdapat presiden dan penghinaan terhadap pengadilan pada rancangan Undang-undang KUHP.
Mengenai pasal penghinaan terhadap pengadilan, dipandang Aktivis KontraS, dapat membuat hakim lain mengikuti langkah Sarpin Rizaldi yang melaporkan pengkritik putusannya.
"Kami menyebutnya UU Sarpin. Ini bisa membuat hakim-hakim lain mengikuti langkah Sarpin (Hakim Sarpin Rizaldi) jika ada orang yang mengkritisi hasil putusannya," kata Satrio di kantor KontraS, Senen, Jakarta, Sabtu (26/12/2015).
Surat edaran tentang ujaran kebencian (Hate Speech) yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, juga dipandang sebagai langkah pemerintah untuk menertibkan masyarakat.
"Tidak jelasnya penjelasan hate speech dalam surat edaran itu membuat penanganannya dapat diselewengkan untuk bungkam kritik," katanya.
Kecenderungan untuk menertibkan dan membatasi hak sipil oleh pemerintahan yang berjalan, menurut Satrio, terlihat dominan di Jakarta.
Sebagai contoh, dia menyebutkan pelarangan aksi kamisan yang rutin berlangsung di depan Istana Negara.
"Tren ini sepertinya akan terus berlangsung," kata Satrio.