Sidang Teguran Eksekusi Yayasan Supersemar Kembali Ditunda
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terpaksa kembali menunda penyelenggaraan sidang teguran atas Yayasan Supersemar untuk melaksanakan putusan Mahkamah
Penulis: Valdy Arief
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terpaksa kembali menunda penyelenggaraan sidang teguran atas Yayasan Supersemar untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung.
"Kuasa dari termohon (Yayasan Supersemar) meminta penundaan," kata Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Made Sutrisna, di kantornya Rabu (6/1/2015).
Alasan kuasa hukum Yayasan Supersemar meminta sidang ditunda dikarenakan ada bagian dari kuasa pemohon tidak bisa hadir.
"Masih dengan alasan yang sama. Ada bagian dari kuasa pemohon yang tidak bisa mengikuti," ucapnya.
Made menjelaskan dalam surat permintaan penundaan tersebut, pengacara Yayasan Supersemar meminta sidang teguran dilaksanakan 10 Februari 2016.
"Permohonan tersebut tidak bisa kami kabulkan. Jadi kami jadwalkan lagi sidang aanmaning pada 20 Januari," kata Made.
Sidang yang dijadwalkan kembali pada 20 Januari 2016, disebut Made, merupakan panggilan terakhir dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku eksekutor.
Jika Yayasan Supersemar pada sidang yang telah dijadwalkan ulang kembali tidak hadir, sidang teguran dianggap telah berlangsung.
"Delapan hari sejak tanggal 20 Januari, akan dimulai proses eksekusi," katanya.
Sebelumnya, telah terjadi penundaan sidang teguran untuk yayasan warisan Orde Baru ini.
Pertama pada 23 Desember 2015, namun kuasa hukum meminta penundaan hingga hari ini, Rabu (6/1/2015).
Pada hari ini, pengacara yayasan pemberi beasiswa, melalui pengacaranya kembali meminta penundaan.
Pada sidang ini, pihak Yayasan Supersemar dimintai ganti rugi pembayaran secara sukarela.
Jika dalam batas waktu delapan hari setelah teguran disampaikan pembayaran denda tidak dilaksanakan, pengadilan dapat melaksanakan eksekusi secara paksa.
Perkara kasus Yayasan Supersemar bermula ketika pemerintah pada tahun 2007, menggugat Soeharto dan yayasan tersebut terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa yang disalurkan.
Kejaksaan Agung pada gugatannya menyebutkan dana beasiswa yayasan itu yang seharusnya disalurkan ke penerima beasiswa tapi pada praktiknya disalurkan ke beberapa perusahaan seperti Bank Duta, Sempati Air, dan PT Kiani Lestari.
Pada Selasa (11/8/2015) Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Kejaksaan Agungdalam perkara ini dan mengharuskan ahli waris Soeharto 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar atau total Rp 4,4 triliun.