TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak putus dirundung konflik. Begitulah kira-kira peribahasa yang tepat buat menggambarkan kondisi Partai Golkar saat ini. Dua kubu yang tengah bertikai, sama-sama mengklaim sebagai pengurus yang sah.

Belum jelas kapan konflik akan berakhir.

Dampaknya, tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai ini terus menurun.

Buktinya hasil Pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu menunjukan Partai Golkar hanya mendapatkan kemenangan sebesar 41% jauh dibawah PKS, Nasdem dan PDIP.

Kejayaan partai berlambang pohon beringin ini seolah runtuh di Pilkada.

Bukan hanya karena konflik, kasus yang membelit pengurusnya disinyalir juga turut andil. Salah satunya Kasus Papa Minta Saham yang yang menjungkalkan Ketua DPR Setya Novanto yang merupakan petinggi Golkar.

Di masa lalu, Partai Golkar adalah partai penguasa yang menjadi penyokong setia Orde baru. Setelah Orde Baru tumbang, partai Golkar pun tak pernah jauh dari kekuasaan.

Gembong partai ini selalu merapat bersama petingginya yang menjadi wakil presiden atau menteri meski tidak melalui “jalur resmi” di partai ini.
Berada di barisan Koalisi Merah Putih yang Pemilu lalu mendukung pasangan Prabowo-Hatta, kini ada wacana Partai Golkar merapat ke pemerintahan Jokowi-JK.

Agenda besar nasional di depan mata. Pilkada serentak 2017 tinggal satu tahun lagi. Partai golkar mesti berbenah, jika tak ingin terus menerus dihantui mimpi buruk kekalahan dan kehancuran. (Budhi Kurniawan/Kompas TV)