Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pilkada Watch Nilai Pasal 158 UU Pilkada Jadi Ancaman Demokrasi Lokal

Keberadaan Pasal 158 Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dinilai dapat mengancam demokrasi lokal.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Pilkada Watch Nilai Pasal 158 UU Pilkada Jadi Ancaman Demokrasi Lokal
Priyombodo
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberadaan Pasal 158 Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dinilai dapat mengancam demokrasi lokal.

Direktur Eksekutif Pilkada Watch, Wahyu A Permana, menilai pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember lalu menyisakan begitu banyak pelanggaran yang dilakukan secara terang-terangan.

Para kontestan Pilkada, kata Wahyu, melakukan pelanggaran tanpa ada mekanisme hukum yang mengatur pelanggaran yang dilakukan seperti netralitas aparat sipil negara, politik uang, dan penggunaan dana APBD (Bansos).

"Jika Pasal 158 dipertahankan, maka berbuatlah kecurangan semaksimal mungkin, karena nggak ada mekanisme hukum yang mampu menindaknya," kata Wahyu kepada Tribun, Jumat (15/1/2016).

Menurut Wahyu, Pilkada kali ini merupakan Pilkada bak berhukum rimba. Karena, kata dia, siapa calon yang kuat dimana mereka memiliki akses dengan kekuasaan, punya akses dengan pemodal, maka mereka bisa melakukan kecurangan pilkada.

Di sisi lain, kata Wahyu, fakta menunjukkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada kali ini, paling rendah dibandingkan Pilkada sebelumnya.

Berita Rekomendasi

"Apa jadinya kalau Pilkada yang akan datang tingkat partisipasi pemilih makin rendah kalau pada pilkada 2015 lalu saja partisipasi masyarakat rendah? Pilkada kali ini adalah preseden buruk dalam sejarah pemerintahan Jokowi-JK," kata dia.

Wahyu juga meminta Mahkamah Konstitusi untuk tidak menutup mata terhadap fakta-fakta berupa adanya pelanggaran Pilkada yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Menurut Wahyu, saat ini terdapat 142 kontestan Pilkada yang mencari keadilan, di belakangnya ada masyarakat konstituen yang menuntut keadilan hukum di MK.

"Bayangkan, kalau aspirasi konstituen ini dibungkam oleh satu pasal, tentunya ini cermin buruk dari demokrasi di Indonesia. Dalam konteks itulah, MK harus berani membuat terobosan menghadapi pasal yang mengundang polemik itu, terutama jika memang ada dugaan pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif dalam gugatan yang diajukan calon kepala daerah," katanya.

Forum Peduli Konstitusi (FPK) berpandangan, Pasal 158 UU 8/2015 menjadi belenggu para pembuat keadilan.

Menurut koordinator FPK, Andi Syafrani, terdapat 142 pemohon yang mencari keadilan di Mahkamah Konstitusi.

Menurutnya, baru kali ini di Indonesia orang mencari keadilan dalam konteks perjuangan menjaga integritas Pilkada yang dibatasi angka-angka, dibatasi legal standing, yakni Pasal 158.

Andi berharap Mahkamah Konstitusi bersedia membuka kran ini. Jangan sampai kejahatan pilkada ini menjadi pelanggaran serius.

"Atas masalah tersebut, di tahun 2016, MK bisa mengubur cita-cita dan proses demokrasi yang selama ini sudah dijaga dengan baik jika MK keukeuh mengacu Pasal 158 untuk menyelesaikan sengketa pilkada," katanya.

Andi juga mengajak semua elemen masyarakat untuk menjadikan isu ini menjadi isu nasional bahwa Presiden harus turun tangan untuk menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Saya yakin masih ada waktu untuk memengaruhi publik. Dan, yang paling cepat bisa kita lakukan adalah mengingatkan Presiden Jokowi untuk keluarkan Perppu," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas