ICW Desak Presiden Jokowi Tarik Diri Dalam Pembahasan Revisi UU KPK
Terdapat empat poin perubahan draf revisi UU KPK yang digulirkan DPR.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesian Corruption Watch (ICW) menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Alasannya, revisi UU KPK dinilai belum mendesak dan tidak relevan dengan kebutuhan lembaga antirasuah saat ini.
"Kami menolak revisi UU KPK karena belum mendesak dan tidak relevan dengan kebutuhan KPK saat ini," tegas Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri kepada Tribun, Rabu (3/2/2016).
Terdapat empat poin perubahan draf revisi UU KPK yang digulirkan DPR.
Usulan tersebut di antaranya, pertama, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.
Kedua, penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas.
Ketiga, KPK tak diperbolehkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri.
Dan keempat, KPK diberi wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.
Atas draf itu, ICW mempertanyakan maksud dibentuknya Dewan pengawas KPK.
"Pengawas KPK sudah cukup komisi 3 DPR saja," demikian dia sampaikan.
Soal SP3, dia tegaskan pula, tidak dibutuhkan. Karena ketika KPK sudah menetapkan status kasus masuk tahap penyidikan berarti kasus tersebut telah memiliki minimal dua alat bukti.
"Jadi standarnya sudah tinggi," ujarnya.
"Kalau mengehentikan kasus yang masuk tahap penyidikan cukup dilimpahkan ke Kejaksaan atau Kepolisian seperti kasus BG," katanya.
Karena itu, ICW mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintah menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK.
"Presiden atau pemerintah harus menarik diri dari pembahasan revisi UU ini," pintanya.
Selain itu kata dia, KPK membutuhkan penyidik independen karena KPK masih akan menyidik korupsi di penegak hukum dikemudian hari.
"Masalahnya, seringkali terjadi penarikan penyidik oleh kejaksaan dan kepolisian ketika kepentingan dua penegak hukum terganggu oleh KPK," ujarnya.