Pembahasan Revisi UU KPK Kini Tergantung Sikap Presiden Jokowi
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan pembahasan revisi UU KPK kini tergantung sikap pemerintah.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
![Pembahasan Revisi UU KPK Kini Tergantung Sikap Presiden Jokowi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/demo-tolak-revisi-uu-kpk_20151016_011524.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan untuk melanjutkan pembahasan revisi UU KPK. Dari 10 fraksi hanya Gerindra yang menyatakan penolakannya.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan pembahasan revisi UU KPK kini tergantung sikap pemerintah.
"Nanti pemerintah sangat bergantung dengan sikap Presiden Jokowi. Apakah nanti dalam proses pembahasan berikutnya dia akan menarik diri dari proses pembahasan. Kalau menarik diri, presiden menarik diri, dalam hal ini orang yang ditugasi ya enggak bisa jalan," kata Supratman di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/2/2016) malam.
Supratman mengatakan Gerindra menolak revisi UU KPK karena ingin memperkuat lembaga anti rasuah itu. Pihaknya menentang pengebirian kewenangan KPK.
Ia pun berharap pemerintah sepakat dengan pandangan pemerintah. Bila sepakat maka empat point yang akan dibahas tidak akan berjalan.
Supratman juga mengingatkan dengan persetujuan 9 fraksi bukan berarti riwayat KPK tamat.
"Bila presiden menarik diri, maka gugur karena enggak boleh. Harus pembahasan dan persetujuan bersama," kata Politikus Gerindra itu.
Supratman mengatakan pihaknya menyetujui revisi bila terkait penguatan KPK. Contohnya soal penyadapan. Partai pimpinan Prabowo itu menginginkan seluruh pejabat negara yang dilantik wajib disadap.
"Pasti KPK setuju kan. Harus ada upaya untuk pencegahan luar biasa yang kita lakukan," katanya.
Kemudian terkait Dewan Pengawas yang diangkat dan dipilih presiden maka melanggar UU KPK. Sebab, KPK merupakan lembaga independen yang bebas pengaruh kekuasaan manapun.
"Kalau dewan pengawas bagian internal dari KPK kan intervensi oleh kekuasaan eksekutif. Bisa berbahaya kalau dipilih dan diangkat presiden. Presiden bisa menjadi sangat kuat dan menjadikan KPK sebagai alat menjatuhkan lawan politik," tuturnya.
Sedangkan untuk kewenangan SP3, Supratman berharap hal itu diberikan kepada orang yang secara fisik sakit secara permanen dan tidak mungkin dilanjutkan pemeriksaan di pengadilan.
"Karena itu universal berlaku di seluruh dunia. Hanya khusus tertentu saja. Orang meninggal sakit secara permanen. Kalau diberikan yang lain, bisa bahaya jual beli perkara lagi," imbuhnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.