Pihak Novel Duga Ada Penggerak 'Roadshow' Korban
Dua orang yang mengaku korban penganiayaan Novel Baswedan, Irwansyah Siregar dan Dedi Muryadi bersama pengacaranya,
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum penyidik KPK Novel Baswedan, Muji Kartika Rahayu menduga 'roadshow' saksi yang mengaku korban penganiayaan Novel ke beberapa lembaga digerakkan pihak lain.
"Dugaan (mereka diperalat) itu kuat. Mereka tidak tahu apa yang mau ngomong apa. Kita tahu siapa yang mengkondisikan agar mereka ingin bertemu pimpinan KPK. Artinya ada yang menggerekkan mereka, (dibiayai) itu satu paket," ujar Muji saat dihubungi, Selasa (16/2).
Dalam sepekan terakhir, dua orang yang mengaku korban penganiayaan Novel Baswedan, Irwansyah Siregar dan Dedi Muryadi bersama pengacaranya, mendatangi KPK, Komisi III DPR dan Kejaksaan Agung. Bahkan, mereka berencana mengadu ke Komnas HAM dan menyurati badan HAM PBB.
Kepada anggota lembaga-lembaga tersebut mereka memberikan pengakuan sebagai korban penganiayaan Novel Baswedan saat menjadi Kasat Reskrim Polres Bengkulu pada 2004. Mereka mengaku ditembak, kemaluan disetrum dan tubuh dilindas sepeda motor setelah ditangkap karena pencurian sarang burung walet.
Sebagai kuasa hukum Novel, Muji yang karib disapa Kanti mengaku kasihan dengan 'roadshow' yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai korban penganiayaan tersebut. Sebab, mereka sebagai saksi justru dibawa kemana-mana untuk kepentingan tertentu, yakni ingin menunjukkan diri sebagai korban guna mendorong perkara Novel ke pengadilan.
"Sebenarnya hal itu justru menunjukkan kasihan. Kasihan mereka saksi-saksi sudah 'diewer-ewer' kemana-mana dan tertekan," ujarnya.
Muji meyakini para saksi tersebut merasa tertekan karena harus menyesuaikan hasil 'briefing' saat memberikan pengakuan ke pejabat lembaga-lembaga tersebut. Para saksi tersebut tidak mengerti apa yang disampaikan saat menemui pejabat negara yang didatanginya. Mereka pun akan semakin terlihat ketidakkonsistenan dalam memberikan pengakuan.
Hal itu sudah terjadi saat mereka dihadirkan sebagai dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2015 lalu.
"Meskipun sudah sepintar-pintarnya di-briefing, kalau menyampaikan kerterangan pasti akan belepotan, tetap saja mereka tidak bisa memprediksi saat ditanya hakim dan tim pengacara dari Novel seperti sidang praperadilan lalu," tuturnya.
"Saat itu ketika ditanya, saksi-saksi ini dan pengacaranya malah marah, ngomongnya blepotan. Itu menunjukkan bahwa apa yang mereka katakan itu seperti di-setting, sudah disiapkan," sambungnya.
Muji mengaku tidak terjekut dengan 'roadshow' yang dilakukan para saksi tersebut. Sebab, kejanggalan pengakuan mereka sudah terlihat saat kali pertama muncul di media massa.
"Kami sudah mendiskusikan soal kemunculan mereka saat pertama kali muncul di ILC. Saat ditanya kok tahu yang menembak Novel? Katanya karena ada anggotanya yang memanggil-manggil nama Novel begitu dan katanya bisa lihat pistol Novel yang menembak itu warna putih," ujarnya.
"Novel sendiri nggak pernah terjebak dengan substansi mereka. Yang jelas Novel bilang, dalam tradisi polisi, bawahan atau anggota tidak mungkin panggil Kasat dengan panggil namanya. Biasanya panggil komandan atau Pak. Kalau misalnya dia dengar nama Novel, Novel sudah memastikan itu salah, itu mengada-ada," sambungnya.
Menurut Muji, tujuan para saksi tersebut dengan pendampingan pengacaranya melakukan 'roadshow' ke lembaga negara adalah sama dengan pengakuan-pengakuannya di media massa sebelumnya, yakni untuk mengkonstruksikan bahwa pengakuan mereka adalah cocok atau terkonfirmasi dengan barang bukti kasus Novel yang ada di kepolisian.