Kuasa Hukum Bantah Pembangunan Grand Indonesia Merugikan Negara
Juniver juga bersikukuh tidak ada kerugian negara di kasus ini.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum PT Grand Indonesia (GI), Juniver Girsang menegaskan kerjasama dengan sistem membangun, mengelola, dan menyerahkan (built, operate, and transfer/BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah.
Sehingga menurut Juniver tidak sepatutnya perjanjian BOT antara para pihak yang merupakan domain perdata itu dipidanakan serta diusut oleh Kejagung.
Meski begitu, ia menghormati penyidikan yang kini berjalan di Kejagung.
Juniver juga bersikukuh tidak ada kerugian negara di kasus ini, bahkan Juniver menyebut kerjasama BOT itu justru menguntungkan negara.
"Soal Kejagung menyebut pelaksanaan BOT ini merugikan negara Rp1,2 triliun akibat pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski tidak benar. Justru, HIN diuntungkan secara komersial karena tidak kehilangan kompensasi yang lebih besar dengan adanya dua bangunan tersebut,” tegas dia, Minggu (6/3/2016).
Selain itu, HIN juga diuntungkan karena nilai bangunan yang diserahkan pada akhir masa BOT nanti (tahun 2055) akan jauh lebih besar dari nilai seharusnya.
“Kerjasama ini wujud kemitraan strategis antara BUMN dan swasta yang didasari oleh itikad baik dan tidak merugikan keuangan negara,” ujarnya.
Dipaparkan Juniver setelah dilakukan proses tender yang terbuka dan transparan pada 2004, diterbitkanlah persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT. HIN dan CKBI. Surat persetujuan inilah yang menjadi dasar bagi perjanjian BOT.
Termasuk soal pengalihan pemegang BOT dari CKBI ke Grand Indonesia juga tidak dilakukan secara sepihak, karena merujuk pada surat persetujuan Menteri BUMN dan perjanjian BOT itu sendiri.
Juniver menambahkan sampai saat ini, Grand Indonesia tidak pernah menjaminkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama HIN ke lembaga keuangan manapun untuk memperoleh pendanaan, karena sertifikat HPL itu berada dalam penguasaan HIN.
"Yang dapat dijaminkan oleh Grand Indonesia adalah sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Grand Indonesia dan itu diperbolehkan dalam perjanjian BOT," singkatnya,
Sebagai informasi, Kejagung telah meningkatkan status kasus dugaan korupsi pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA pada 2004, ke tahap penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) nomor Prin-10/F.2/Fd.1/02/2016.
Dalam upaya menguak kasus ini, Kejaksaan telah memanggil Direktur Utama PT HIN Iswandi Said untuk dimintai keterangan.
Tim penyidik juga telah menggeledah Menara BCA dan Apartemen Kempinski, Thamrin, Jakarta Pusat.
Dalam penggeledahan tersebut, tim Kejagung membawa sejumlah dokumen yaitu risalah rapat terkait kerjasama BOT (built, operation, transfer), dokumen pengembangan, proposal PT CKBI, dan rekap penerimaan kompensasi BOT.
Jampidsus Arminsyah menjelaskan awal mula perkara ini adalah adanya pembangunan dua tower yaitu Menara BCA dan Apartemen Kempinski diluar perjanjian.
Dalam kontrak BOT yang ditandatangi 13 Mei 2004 lalu, hanya ada empat bangunan yang dibangun diatas tanah negara yang diterbitkan atas nama PT Grand Indonesiayaitu Hotel bintang lima, dua pusat perbelanjaan, dan fasilitas parkir.
Selain itu, ada permasalahan perpanjangan kontrak kerjasama. Awalnya, kontrak kerjasama hanya berlangsung selama 30 tahun dimulai dari 2004. Tapi pada 2010, kontrak kembali diperpanjang 20 tahun sehingga total kerjasamanya 50 tahun.
Serta permasalahan pengalihan kontrak dari PT Citra Karya Bumi indah kepada PT Grand Indonesia. Masalahnya, sertifikat HGB diagunkan oleh PT Grand Indonesia kepada bank untuk memperoleh kredit. Dengan adanya permasalahan tersebut diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp 1,2 trilun.