Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Margarito: Kasus Hotel Indonesia Masalah Perdata

Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak bisa begitu saja membawanya ke ranah pidana.

Penulis: Johnson Simanjuntak
zoom-in Margarito: Kasus Hotel Indonesia Masalah Perdata
Amriyono Prakoso/Tribunnews.com
Margarito Kamis 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkara kerjasama dengan sistem membangun, mengelola, dan menyerahkan (built, operate, and transfer/BOT) antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) merupakan domain perdata.

Pakar hukum Margarito Kamis menegaskan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak bisa begitu saja membawanya ke ranah pidana.

"Bagaimana (bisa) sebuah perjanjian kesepakatan perdata, lalu dipidanakan, hanya karena ada klaim kelemahan dari salah satu pihak yang membuat kesepakatan?" kata Margarito ketika dimintai pendapatnya oleh wartawan di Jakarta, Jumat (11/3/2016), terkait penyidikan kasus tersebut oleh Kejagung. 

Doktor hukum tata negara lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan, karena perjanjian BOT adalah perjanjian bisnis yang masuk ranah perdata maka jika di kemudian hari ditemukan ada kelemahan atau kekurangan, para pihak yang mengikat perjanjian itu mestinya memperbaiki.

Bukan sebaliknya, secara sepihak, membawa masalah itu ke ranah pidana.

"Pada dasarnya dengan menyetujui dan menandatangani perjanjian BOT ini, pemerintah sebenarnya tengah melakukan bisnis, yaitu bisnis kerjasama aset yang dimiliki dengan pihak swasta. Nah, dalam berbisnis, pasti ada potensi untung dan sebaliknya merugi. Jika pemerintah merasa ada kerugian, ya perjanjian itu harus direvisi," ujar Margarito.

Dia pun menyarankan agar para pihak yang telah mengikat perjanjian BOT ini duduk bersama untuk membicarakan isi perjanjian tersebut. 

BERITA TERKAIT

"Solusi terbaik adalah duduk bersama, lalu me-review pasal-pasal perjanjian yang dinilai ada potensi kerugian. Dengan begitu, masalah bisa selesai, bukan ribut dan membawa ke ranah pidana," ujar Margarito.

Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini Kejagung tengah melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi dalam kerjasama BOT antara HIN dan CKBI-Grand Indonesia.

Kejagung menduga telah terjadi kerugian negara dalam kerjasama BOT yang berlangsung hingga 2055 itu. Kejagung juga mempersoalkan mengenai pembangunan dan pengelolaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang dianggap tidak tercantum dalam perjanjian BOT. 

Bantah Korupsi

Kuasa hukum Grand Indonesia, Juniver Girsang, membantah terjadi korupsi itu.

Menurut Juniver, kerjasama BOT itu justru menguntungkan negara. Kerjasama BOT itu merujuk pada persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT HIN dan CKBI. 

Menurut Juniver, kerjasama itu menguntungkan negara. Grand Indonesia telah mengeluarkan total investasi Rp5,5 triliun dalam proyek ini.

Angka ini jauh lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam perjanjian BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT sekurang-kurangnya Rp1,2 triliun. 

Dimintai pendapatnya secara terpisah, anggota Komisi III DPR bidang hukum dan HAM dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Jamil mengingatkan agar Kejagung berhati-hati menangani kasus Hotel Indonesia ini, sebab menyangkut investasi yang sangat besar.

Menurut dia, jangan sampai proses hukum atas perkara tersebut membuat investor takut berbisnis di Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas