Presiden Bisa Jadi Sengaja Membiarkan Kegaduhan Blok Masela
Banyak pihak dirugikan akibat kegaduhan akibat perbedaan pendapat antara Menteri Energi dan SumberbDaya Mineral (ESDM),
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Banyak pihak dirugikan akibat kegaduhan akibat perbedaan pendapat antara Menteri Energi dan SumberbDaya Mineral (ESDM), Sudirman Said dengan Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli konsep pengembangan blok Masela.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, mengarajan bahwa masyarakat adalah pihak yang paling dirugikan, setelahnya adalah para investor yang tingkat kepercayaan kepada pemerintah sudah turun.
Dalam pemaparannya di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (18/3/2016), ia menduga bisa jadi Presiden Joko Widodo yang punya kewenangan untuk mengakhiri kegaduhan ini, memang sengaja membiarkan.
"Presiden kan pernah bilang waktu diwawancara televisi, di negara demokrasi biasa kalau berbeda pensapat," ujarnya.
Presiden sengaja menciptakan kegaduhan, untuk bisa menentukan mana sekenario terbaik di antara yang diasdorkan Sudirman Said dan Rizal Ramli, dan melihat bagaimana reaksi masyarakat.
"Tapi ini kok terlalu gaduh, sampai wibawa pemerintah dan presiden dipertanyakan, mungkin saja ada masalah," jelasnya.
Dalam kasus tersebut sudah diteken kontrak antara pemerintah dengan INPEX dan Shell sebagai operator, bahwa fasikutas pengilangan dibangun terapung atau offshore. Sudirman Said pun mendukung hal tersebut.
Operator, juga telah mengeluarkan uang jutaan dollar Amerika Serikat (AS), untuk survei dan pengkajian awal. Hasilnya, dengan fasilitas terapung, biaya yang dikeluarkan lebih murah sekitar satu juta dollar AS.
Namun belakangan, Rizal Ramli mengusulkan agar fasilitas pengolahan dibangun di darat, dengan memasang pipa bawah air dari mulai titik eksplorasibdi tengah laut, hingga pulau terdekat. Ia menyebut konsep tersebut lebih menguntungkan masyarakat sekitar.
Presiden Joko Widodo yang punya kewenangan untuk mengakhiri kehaduhan tersebut, hingga kini belum memberikan kepastian apalah fasilitas pengolahan akan dibangun offshore atau onshore.
Menurut Ari Nurcahyo, Presiden harus segera mengakhiri kehaduhan, apapun pilihan pengembangan yang akhirnya dipilih.