Edy Suandi: Citra DPR Sudah Terlanjur Buruk di Masyarakat
Banyaknya kasus dugaan korupsi anggaran menjadi pemantik bagi publik selalu berprasangka buruk pada tiap kali usulan pembangunan Gedung DPR.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ade Komarudin seharusnya tak perlu heran bila banyak pihak mengkritisi rencana DPR untuk membangun pembangunan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara.
Apalagi menurut Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid, citra DPR sudah terlanjur buruk di mata masyarakat Indonesia.
Ditambah lagi, kata pengamat dunia pendidikan ini, terkait pembangunan pasti berkaitan dengan anggaran keuangan yang akan dipakai.
Banyaknya kasus dugaan korupsi anggaran menjadi pemantik bagi publik selalu berprasangka buruk pada tiap kali usulan pembangunan Gedung DPR.
"Harus diingat imej DPR kita sudah terlanjur buruk di masyarakat. Publik mencurigai sepak terjang DPR, apalagi menyangkut anggaran," ujar Guru Besar UII ini kepada Tribun, Senin (28/3/2016).
Akibatnya publik selalu berprasangka buruk pada setiap usulan DPR, termasuk soal pembangunan gedung DPR dan perpustakaan yang akan menelan lebih setengah triliun.
"Dengan kondisi seperti ini seharusnya Akom tak perlu heran kalau setiap langkah DPR dikritisi atau bahkan "direcoki" berbagai elemen masyarakat," jelasnya.
Tentu di samping anggaran, lanjutnya, publik akan melihat optimalisasi pemanfaatkan perpustakaan itu nantinya.
Coba evaluasi, imbuhnya, saat ini berapa banyak anggota DPR atau stafnya dan masyarakat luas memanfaatkan perpustakaan yang sudah ada di Gedung wakil rakyat saat ini.
"Saya yakin masih sangat minimal. Nah tentu mubazir kalau anggaran yang besar ternyata manfaatnya kecil," kritiknya.
Ditambah ekonomi pun kini yang sulit maka, menurutnya memang menjadi rendah urgensi membangun perpustakaan itu. Jadi, wajar kalau muncul suara menolak.
"Menurut saya bisa saja kita membangun perpustakaan namun menunggu ekonomi baik. Tak harus parlemen yang membangunnnya. Bisa saja oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atau oleh pemerintah daerah," jelasnya.
Untuk itu dia berharap, walaupun DPR punya hak budget, namun tak harus memaksakan pembangunan gedung baru ini kalau memamg situasi tidak memungkinkan.
"Perlu ada simulasi tentang kemanfaatan perputakaaan tersebut," cetusnya.
Diberitakan Ketua DPR, Ade Komarudin mengaku heran kenapa di Indonesia banyak pihak yang berusaha merecoki rencana DPR untuk membangun pembangunan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara.
"Lihat Amerika. Mereka membangun Library of Congress, harganya berapa pun dikorbankan," kata Ade di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/3/2016).
Ade pun meminta semua pihak untuk berpikir jernih dan tidak terpengaruh dengan segelintir pihak yang ingin merecoki pembangunan perpustakaan ini.
Pekan depan, seusai DPR mengakhiri masa reses, Ade berencana membicarakan pembangunan perpustakaan ini dengan semua pihak yang berkepentingan di DPR, seperti Kesetjenan DPR, Badan Urusan Rumah Tangga DPR, dan perwakilan 10 fraksi.
Wacana pembangunan perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara muncul setelah Ketua DPR Ade Komarudin menerima sejumlah cendekiawan dan budayawan di Kompleks Parlemen, Selasa (22/3/2016).
Ade Komarudin meyakini bahwa kebijakan moratorium pembangunan gedung baru tidak akan berlaku untuk proyek gedung baru DPR.
Urusan anggaran tidak menjadi masalah karena, menurut dia, DPR dapat memodifikasi anggaran pembangunan gedung baru sebesar Rp 570 miliar yang sudah dialokasikan di APBN 2016.
Gedung baru itu direncanakan terdiri dari perpustakaan umum terbesar se-Asia Tenggara serta ruang kerja bagi anggota DPR dan tenaga ahli.
Ada sekitar 600.000 koleksi buku yang akan disimpan di perpustakaan tersebut. Itu akan melebihi perpustakaan terbesar di Asia Tenggara saat ini, National Library of Singapore, yang memiliki 500.000 koleksi buku.