Digunakan untuk Cuci Uang, Jaksa KPK Tolak Buka Blokir Aset Nazaruddin
Menurut Jaksa, aset-aset tersebut merupakan barang bukti dari hasil pencucian uang yang diperoleh Nazaruddin.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak permintaan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, agar sejumlah aset dan harta yang miliknya yang diblokir KPK untuk dibuka.
Menurut Jaksa, aset-aset tersebut merupakan barang bukti dari hasil pencucian uang yang diperoleh Nazaruddin.
"Kami berpendapat agar Majelis Hakim menolak dan mengesampingkan permohonan dimaksud, karena aset-aset yang dimohonkan tersebut merupakan barang bukti dalam perkara a quo," kata Jaksa Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (18/5/2016).
Jaksa berpendapat, harta kekayaan Nazaruddin tersebut merupakan hasil pencucian dengan mempergunakan nama perusahaan Permai Grup atau mempergunakan nama orang lain di bawah kendali Nazaruddin. Hal itu dilakukan untuk menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul aset yang diperoleh dari korupsi.
Jaksa menilai, permohonan Nazaruddin ini justru menunjukkan fakta bahwa Nazaruddin merupakan pemilik sesungguhnya dari sejumlah aset yang diatasnamakan pihak lain (beneficial owner), sehingga mempertegas terbuktinya dakwaan tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan korupsi.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Nazaruddin dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 1 tahun kurungan. Selain itu, Jaksa juga menuntut agar harta kekayaan Nazaruddin sekira Rp600 miliar dirampas untuk negara.
Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup berasal dari fee pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang anggarannya dibiayai pemerintah. Dari uang tersebut, salah satunya Nazaruddin membeli saham PT Garuda Indonesia sekira tahun 2011, menggunakan anak perusahaan Permai Grup.
Nazar dituntut pidana sebagaimana diatur Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Nazaruddin dinilai melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.