Kemampuan Berpikir Kritis pada Anak Cegah Propaganda Radikal kata Anna Surti Ariani
Keluarga dan pendidikan dasar jadi pondasi kuat bagi anak-anak untuk mencegah anak dari propaganda radikal yang menyerbu anak-anak.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keluarga dan pendidikan dasar jadi pondasi kuat bagi anak-anak untuk mencegah anak dari propaganda radikal yang menyerbu anak-anak.
Orangtua harus peka terhadap lingkungan dan perkembangan si anak. Sekolah juga harus ajarkan ajaran-ajaran soal kedamaian dan kebaikan, dan bukan sebaliknya.
“ Jika orangtuanya pecinta negara maka banyak hal yang harus dilakukan mereka untuk mencegah sang anak dari propaganda radikal. Jangan lupa keluarga dan pendidikan dasar adalah pondasi penting bagi perkembangan anak,” ungkap psikolog Anak dan Keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Anna Surti Ariani, SPsi, MSi.,Psi kepada media, Selasa (24/5/2016), mengomentari video yang memperlihatkan anak-anak Indonesia dan Malaysia sedang berlatih menggunakan senjata di Suriah yang muncul minggu lalu.
Menurutnya, hal utama yang harus dilakukan orangtua untuk mencegah anak dari propaganda radikal adalah membekali sang anak dengan kemampuan berpikir kritis, sehingga tak mudah percaya dengan informasi yang ia dapatkan dari orang lain.
“Ini penting karena anak biasanya menerima mentah-mentah apa yang dikatakan orang lain,” tuturnya.
Selanjutnya, dia menyarankan agar orangtua selalu jalin kedekatan dengan anak, sehingga anak nyaman bicara dengan keluarga. Orangtua juga harus selalu kenali teman-teman anak-anak.
“Perhatikan bagaimana mereka berinteraksi dan carikan aktivitas positif buat mereka. Termasuk perubahan yang dialami anak-anak, misalnya anak jadi semakin kasar, atau terus protes pada kebijakan pemerintah yang disiarkan televisi, atau menganggap paham radikal tertentu sebagai hal yang benar,” kata Anna Surti.
Anna juga minta para orangtua untuk memperhatikan benda-benda yang dimiliki para, apakah ada yang terlihat terlalu ekstrim, misal terlalu sama dengan pihak tertentu, atau selalu mengenakan benda-benda-benda tertentu.
Di sisi lain, Dr.MAg. Zubair yang menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Adab dan Ilmu Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan bahwa video itu adalah satu bentuk propaganda untuk memperlihatkan bahwa anak-anak juga bisa dekat dengan kekerasan, dan itu tidak berlaku di Indonesia yang mengutamakan kedamaian dalam perbedaan dalam menjalankan agama.
“Video itu jelas-jelas adalah propaganda untuk mengajak anak-anak ikut dalam kegiatan radikal tanpa mengetahi konteksnya. Padahal agama selalu mengajarkan kedamaian dan harmoni,” ujar Zubair.
Ini menurutnya, harus jadi perhatian bersama karena bisa saja video itu lolos dan dipertotonkan ke sekolah-sekolah dasar tanpa ada pihak yang bisa mencegah.
“Saya pernah menyaksikan sebuah sekolah dasar memutar sebuah tayangan perang di Palestina yang penuh kekerasan dan banyak melibatkan anak-anak,” kata Zubair.
Hal-hal inilah yang harus diantisipasi oleh pemerintah dan keluarga.
“Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan harus punya mekanisme control terhadap tayangan dan content yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sehingga anak-anak bisa terbebas dari propaganda radikal,” jelas Zubair.
Zubair tak menampik jika keluarga adalah hal terpenting untuk menghindarkan anak-anak dari propaganda radikal. “Keluarga adalah hal penting untuk mencegah propaganda itu,karena keluarga adalah pihak terdekat dengan sang anak,” paparnya.