Banyak Persoalan, Pansus Tak Kejar Target Selesaikan RUU Terorisme
Syafii mengakui masih banyak hal yang belum terakomodir dalam RUU tersebut.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Terorisme tak akan terburu-buru disahkan.
Demikian dikatakan Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii disela-sela seminar nasional 'Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia' di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (25/5/2016).
Ia mengatakan konsep RUU yang diajukan pemerintah perlu mendapat masukan dari pemangku kepentingan.
Syafii mengakui masih banyak hal yang belum terakomodir dalam RUU tersebut.
"Ada banyak yang belum terakomodir, soal siapa sih sebenarnya teroris? Kemudian menjadi begitu bias sehingga dalam banyak kasus, orang yang ditangkap dan mengalami kekerasan aparat yang menangkap bahkan tak terbukti," kata Syafii.
Bahkan, katanya, laporan Komnas HAM terdapat lebih 120 orang tewas sebelum diproses hukum. Adapula tersangka terorisme anonim.
"Enggak tahu siapa yang ditangkap. Sebenarnya teroris itu siapa," kata Syafii.
Hal lain yang menjadi pembahasan yakni dari sisi aparat. Politikus Gerindra itu menuturkan aparat khawatir saat melakukan tugasnya. Sebab, mereka memiliki keluarga. Adapula mengenai korban serangan teroris.
"Kalau kena bom, serpihan bom siapa yang menanggung? Siapa yang menetapkan kita korban? Kalau kita luka bisa langsung kita disebut korban? Apa hak kita sebagai korban?siapa yang akan eksekusi hak-hak kita yang harus diterima sebagai korban. Ini juga belum ada," ujar Syafii.
Ia juga mengingatkan pelibatan TNI dalam operasi terorisme. Contohnya, saat pembebasan sandera di Filipina.
Dimana, TNI melakukan upaya pembebasan sandera. Seharusnya, kata Syafii, terdapat koordinasi antara Densus 88 dengan TNI dalam menangani terorisme.
"Karena ada hal-hal yang khusus kita membutuhkan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme itu," katanya.
Syafii juga mengungkapkan perlunya transparansi program terorisme. Sebab, terdapat keluhan masalah dana operasional Densus 88.
Tetapi, Densus dapat memberikan uang kepada keluarga terduga teroris Siyono sebesar Rp 100juta.
Terakhir, Syafii mengungkapkan dibutuhkannya dewan pengawas yang dapat mengawasi transparansi kinerja audit keuangan.
"Banyak hal juga yang spesifik lagi ialah cyber crime ini kan sudah menjadi kejahatan transnasional tidak hanya menjadi piranti-piranti dalam wujud fisik juga non fisik, ini kan perlu ada aturan yang pasti," kata Anggota Komisi III itu.