Tak Ada Rencana PHK 1 Juta PNS, yang Ada Hanya Pensiun Alamiah
Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan, pemerintah tidak merencanakan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebanyak 1 juta Pegawai Negeri Sipil.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan, pemerintah tidak merencanakan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebanyak 1 juta Pegawai Negeri Sipil.
Dijelaskan, angka itu muncul, hanya sebatas hasil hitungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi saja.
"Sebenarnya sama sekali tidak ada keputusan soal itu (PHK)," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (3/6/2016).
"Itu hanya hitung-hitungan oleh Kempan RB dalam rangka efisiensi dan reformasi birokrasi. Tetapi kita, seperti Anda sudah ketahui dalam pertemuan lalu, justru yang kita ambil ialah suatu PNS efektif tanpa menyulitkan. Jadi bukan tiba-tiba harus dipensiunkan," kata Kalla lagi.
Kalla menjelaskan lagi, angka tersebut didapat dari jumlah PNS yang telah pensiun selama 8 tahun, sehingga jika dihitung setiap tahunnya ada sekitar 120.000 PNS dan diimbangi juga dengan kebijakan moratorium penerimaan PNS hingga tahun 2019.
"Jadi kita tidak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Pegawai negeri tidak ada istilah PHK. Hanya pensiun alamiah saja. Kenapa itu angka 8 tahun itu? 8 tahun berarti kira-kira 500.000 bedanya nanti. Tetapi tidak merusak apa-apa. Tidak akan ada guncangan," ujar Kalla memastikan.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ade Komarudin mengingatkan pemerintah, untuk berhati-hati jika ingin memangkas jumlah pegawai negeri sipil (PNS).
Pemangkasan jumlah itu perlu kajian yang matang, sehingga tidak merugikan warga yang bekerja sebagai aparat pemerintahan tersebut.
"Jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Jangan sampai melabrak begitu saja rambu-rambu hak hidup warga negara," kata Ade.
Rasionalisasi PNS, lanjutnya, tak beda jauh seperti halnya penggusuran terhadap pemukiman warga di sebuah wilayah.
Untuk itu, perlu dilakukan pendekatan persuasif agar pegawai yang terdampak rasionalisasi dapat menerimanya. Disamping itu, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana nasib pegawai setelah mereka dirasionalisasi. Hal ini terkait dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang harus mereka penuhi.
"Berikan solusi agar semuanya menjadi oke. Negara ini didirikan oleh para founding fathers dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk menyakiti rakyat," kata dia.
Seperti diberitakan Harian Kompas, selain merasionalisasi sekitar 1 juta PNS hingga tahun 2019, pemerintah juga secara bertahap akan mengurangi 76 lembaga nonstruktural (LNS) yang dibentuk undang-undang hingga tinggal sekitar 50 lembaga agar pemerintah lebih efektif dan efisien.
Dalam 10 tahun ke depan, pemerintah bertekad menghapus jabatan eselon tiga dan empat agar struktur organisasi pemerintahan lebih ramping dengan rantai birokrasi yang pendek.
Wapres menjelaskan, moratorium penambahan selama delapan tahun itu dilakukan dengan perhitungan ada selisih sebanyak 500.000 pegawai yang pensiun hingga 2019.
"Ini kan moratorium sampai 2019, sama sekali tidak tambah (PNS). Supaya kalau ada pensiun 100 orang, misalnya, yang diganti hanya 50 orang karena semuanya sudah melalui teknologi," jelasnya.
Wapres pun menceritakan pegawai negeri sipil yang kurang efektif juga terjadi di kantornya, di mana banyak pegawai yang keahliannya tidak diperlukan karena kemajuan teknologi.
"Seperti di kantor saya berlebihan juga, karena dulu ada bagian arsip, fotokopi, operator telepon, yang semua sudah tidak dibutuhkan lagi akibat kemajuan teknologi," ujarnya.
Dalam rapat koordinasi terkait rencana rasionalisasi PNS, proses tersebut akan dimulai secara bertahap, mulai dari pelatihan hingga perbaikan sistem penggajian.
"Ada daerah yang biaya pegawainya 80 persen daripada APBD, makanya pembangunan tidak bisa jalan. Akhirnya biaya pelayanan publik secara presentase menurun walaupun jumlahnya tentu tidak berapa banyak, sehingga harus dibikin 'roadmap'-nya. Kita minta delapan tahun roadmapnya," ujar Wapres Kalla. (tribun/rek/fer)