Pemuda Muhammadiyah: Import Rektor Berarti Gadaikan PTN
Apalagi wacana ini digulirkan untuk mengikuti negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut sehingga kampusnya berkelas dunia.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menegaskan wacana impor orang asing menjadi rektor perguruan tinggi negeri (PTN) bukan pemikiran yang tepat.
Apalagi wacana ini digulirkan untuk mengikuti negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut sehingga kampusnya berkelas dunia.
"Wacana import rektor bukan hal yang tepat," tegas Virgo Sulianto Gohardi, Wakil Direktur Madrasah Anti Korupsi Pemuda Muhammadiyah kepada Tribun, Senin (6/6/2016).
Jika ingin meningkatkan kualitas perguruan tinggi dia ingatkan, seharusnya yang direkrut adalah dosen asing.
"Karena dosen merupakan profesi yang menuntut kualitas akademik tinggi," jelasnya.
"Jika rektor kan terkait manajerial dan kepemimpinan," imbuhnya.
Menurutnya masih banyak dosen Indonesia yang mampu dalam hal kepemimpinan untuk memimpin perguruan tinggi.
Dia tegaskan, mengimport rektor berarti menggadaikan perguruan tinggi. "Mengimport rektor berarti menggadaikan perguruan tinggi," cetusnya.
"Kenapa tidak sekalian mengimport Menristek Dikti mumpung jelang reshufle?" demikian dia mengkiritik wacana tersebut.
Pemerintah mewacanakan untuk merekrut orang asing menjadi rektor perguruan tinggi negeri (PTN). Wacana ini digulirkan untuk mengikuti negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut sehingga kampusnya berkelas dunia.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir mengatakan, presiden mengarahkan agar pendidikan tinggi Indonesia itu mampu bersaing di kelas dunia. Dia mengungkapkan, China, Singapura dan Arab Saudi memakai orang asing untuk menjadi rektor.
‘’Saudi dulu tidak diperhitungkan. Rangkingnya di luar 500 besar dunia. Tapi sekarang sudah masuk peringkat 200 dunia. Sebut saja King Saud University yang dulu tidak diperhitungkan dunia,’’ ujar Nasir usai mengunjungi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Kamis (2/6/2016).
Menurutnya, diperlukan banyak rapat konsultasi dengan presiden untuk merealisasikan kebijakan ini. Sekarang, kata dia, pihaknya sedang menyiapkan infrastruktur dan instrumen lain yang perkembangan selanjutnya akan intensif dilaporkan ke presiden.
Dia mengakui ada kekhawatiran sebagian pihak wacana ini akan merusak nasionalisme. Dia menuturkan kekhawatiran ini menjadi bagian kritis pembahasan.
Lanjutnya, instrumen pendukung baik dari segi peraturan perundangan dan aspek sosial budaya juga dibahas.
Namun disisi lain, dia berpendapat sudah saatnya Indonesia harus memikirkan untuk meningkatkan kompetensi pendidikan tinggi. Apalagi, sekarang Indonesia sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), sehingga harus bisa bersaing secara global.
‘’Kita memang sudah mengarah kesana. Namun kapan ini dilakukan kami belum bisa memutuskan,’’ jelasnya.