Wakil Ketua Komisi II DPR Ungkap 12 Alasan Tolak Pemecatan PNS
Ada 12 alasan mengapa kebijakan PHK dini satu juta pegawai negeri sipil (PNS) harus ditolak.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengungkapkan, ada 12 alasan mengapa kebijakan PHK dini satu juta pegawai negeri sipil (PNS) harus ditolak.
Pertama, hal tersebut tidak termasuk dalam delapan agenda reformasi.
Kedua, agenda ketiga reformasi birokrasi programnya itu adalah efisien kelembagaan dan organisasi bukan personalia.
Sementara, agenda keempat reformasi adalah penggunaan teknologi agar terjadi efisiensi dan agenda kelima lebih pada program rekruitmen dan assesment jabatan.
Lukman mengatakan ketiga agenda reformasi birokrasi menyangkut aparatur tersebut tidak ada yang berkenaan dengan Rasionalisasi jumlah pegawai, atau PHK dini PNS. Ketiga, tidak pernah dipresentasikan kepada Komisi II DPR RI, sebagai sebuah rencana jangka pendek, menengah atau panjang.
"Ini program dadakan. Padahal ada kewajiban bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan DPR, jika kebijakannya menyangkut perubahan terhadap UU dan berkenaan dengan eksistensi Anggaran Negara," kata Politikus PKB itu.
Keempat, Lukman menuturkan kalau kebijakan PHK dini PNS ini hanya cantolannya Permen, tidak kuat apalagi regulasinya bertentangan dengan UU atau Peraturan Pemerintah, atau minimal tidak sejalan dengan peraturan perundangan tersebut.
"Kelima, kebijakan pengangkatan PNS, adalah kebijakan negara untuk memenuhi dua dimensi, yaitu dimensi aparatur birokrasi sebagai alat negara untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya dan dimensi memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak kepada rakyatnya," imbuhnya.
Keenam, Lukman mengingatkan dalam konstitusi, kebijakan efisiensi tidak berdiri sendiri tetapi diikuti dengan keadilan.
Efisien tetapi tidak adil hanya akan mendorong menjadi negara liberal bukan negara pancasila.
Ketujuh, Pilihan PHK dini PNS seharusnya pilihan terakhir setelah pilihan yang lain dilaksanakan, bukan prioritas atas nama effisiensi. "Pilihan itu baru ditempuh ketika tidak ada lagi pilihan lain," katanya.
Kedelapan, Lukman menuturkan di tengah masyarakat yang sedang mengalami kesulitan hidup, PHK swasta dan pabrik, seharusnya Pemerintah tidak melakukan hal yang sama.
Hal ini akan mendorong multi player effect yang mengganggu stabilitas politik dan ekonomi.
"Kesembilan, walaupun ada kebijakan 'uang tolak' tetapi secara psikologis di PHK dini, atau tidak ada status pekerjaan jauh lebih berat bagi rakyat dibanding punya gaji kecil tetapi punya status sebagai PNS," kata Lukman.
Kesepuluh, secara sosiologis kebijakan ini termasuk prematur, karena tidak memperhitungkan struktur masyarakat kita yang masih percaya bahwa PNS itu warga kelas satu, sehingga dampaknya akan luas dan sangat mengganggu sosiologi masyarakat.
Kesebelas, pemerintah sekarang sedang bekerja mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan memperkecil kesenjangan pendapatan.
"Bahkan rela menganggarkan besar puluhan triliun rupiah dana desa agar memberikan kontribusi terhadap hal tersebut. Sebanyak 75% PNS itu ada didaerah, maka implikasinya akan luas secara ekonomi, sehingga akan mengganggu target pertumbuhan dan memperkecil gini ratio (kesenjangan pendapatan). 1 juta PNS yang di PHK dini berkenaan dengan minimal nasib 4 juta orang Indonesia," imbuhnya.
Terakhir, Lukman mengungkapkan secara faktual setiap tahun rata-rata ada 120.000an PNS yang pensiun secara otomatis. "Tiga tahun paling tidak hampir 500 ribu orang," kata Lukman.(fer/jar/wly)