Tito Karnavian Yakin Pimpin Polri Tanpa 'Pemberontakan'
Tito Karnavian meyakinkan dirinya mampu memimpin organisasi Polri dengan baik
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dipilih sebagai calon tunggal Kapolri, Komjen Pol Tito Karnavian meyakinkan dirinya mampu memimpin organisasi Polri dengan baik, kendati dirinya terbilang masih junior dari sisi angkatan Akpol dan ada sejumlah senior di korps Bhayangkara.
Tito yang merupakan lulusan Akpol 1987, selisih lima angkatan atau lima tahun dengan Kabaintelkam Komjen Noer Ali (Akpol 1981) yang segera pensiun pada 1 November 2016 dan selisih empat angkatan dengan Wakapolri Komjen Budi Gunawan (Akpol 1983).
Ia menyatakan akan membuktikan hal itu setelah dilantik menjadi Kapolri dan memimpin organisasi Polri.
Keyakinannya itu dilatarbelakangi pengalamannya saat mampu memimpin organisasi atau satuan tugas di Polri dengan sejumlah senior Akpol yang menjadi bawahannya.
Di antaranya saat menjadi Kapolda Papua, Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Administrasi (Asrena), Kapolda Metro Jaya dan Kepala BNPT saat ini.
"Saya pikir bukan masalah muda atau tua, senior atau junior," tandasnya, Kamis (16/6/2016).
Menurut Tito, yang lebih penting diperlukan dari seorang yang memimpin satu kerja/tugas hingga lembaga Polri adalah kemampuan atau kapabalitas atau kualitas dari kepemimpinan hingga kemampuan membangun atau me-manage hubungan interpersonal ke semua lini organisasi.
"Banyak organisasi yang dipimpin oleh mungkin dipimpin oleh senior oleh, tapi juniornya tidak menerima, resistensi terjadi," ujarnya.
Dan yang tidak kalah penting dituntut dari seorang pimpinan, lanjut Tito, adalah mengakomodir atau merangkul seluruh senior yang menjadi bawahannya secara objektif, termasuk masukannya.
Jika faktor-faktor itu tidak terpenuhi atau pun seorang pimpinan tidak mempunyai karakter kepemimpinan yang baik di mata bawahan, maka resistensi hingga pemberontakan akan terjadi dari dalam organisasi.
"Memang kalau pimpinannya senior akan lebih diuntungkan. Karena kalau senior, relatif juniornya akan loyal. Tapi, itu tidak mutlak. Karena ada juga organisasi yang dipimpin oleh senior, tapi tidak akomodir dan tidak memiliki hubungan baik dengan bawah, maka di bawahnya bisa terjadi resistensi atau melakukan pemberontakan," jelasnya.
Tito menegaskan, meski dirinya akan mengakomodir dan merangkul seluruh senior Polri, bukan berarti jika dirinya seorang Kapolri yang terbilang junior pasti akan memberikan jabatan kepada para senior.
Ia akan menempatkan senior Polri di suatu jabatan secara objektif sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, dia juga harus mempunyai visi dan misi yang sama dengannya untuk melakukan perbaikan Polri, khusus reformasi di internal korps Bhayangkara.
"Jadi, bukan berarti senior dapat tempat. Dan bukan berarti kita harus menyenangkan semua pihak. Tapi, yang punya kompetensi dan visi reformasi Polri. Itu yang utama," tandasnya.
Meski mempunyai sejumlah pengalaman dan kemampuan kepemimpinan tersebut, Tito tidak bisa memberi jaminan 100 persen bahwa tidak akan terjadi perpecahan atau 'gerbong-gerbong' di dalam tubuh Polri.
Satu pegangan dia, bahwa organisasi Polri menganut sistem birokrasi Waberian, di mana komando berada pada seorang pimpinan, yakni Kapolri. Dan bawahan harus mematuhi atasan.
"Dan kami ini kan organisasi Weberian. Artinya, komando berada pada komando tunggal. Ketika kita sangat loyal pada atasan, ketika presiden sudah memilih seseorang menjadi pimpinan, maka organisasi Polri dan TNI tradisinya loyal kepada pimpinan negara, yakni Presiden," tandasnya.