Demokrat: OTT KPK Terhadap Putu Sudiartana Tidak Lazim
Menurut Rachlan, KPK dalam pernyataan resminya, belum memberikan bukti yang kuat secara hukum.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wasekjen sekaligus Juru Bicara Partai Demokrat Rachlan Nashidik menyatakan pihaknya masih menunggu penjelasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan kasus yang membelit Putu Sudiartana adalah hasil dari Operasi tangkap Tangan (OTT).
Pasalnya menurut Rachlan dari penjelasan resmi yang dikeluarkan KPK Rabu malam, tidak ada penjelasan yang menjurus pada operasi tangkap tangan terhadap kadernya tersebut sebagaimana lazimnya.
"Kita tadi bersama sama mendengarkan (penjelasan KPK), itu sama sekali tidak ada keterangan dalam penjelasan itu yang menggambarakan OTT, sebagaimana lazimnya kita sering mendengarkan langkah langkah KPK dalam melakukan OTT," ujar Rachlan di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat, Rabu (29/6/2016).
Menurut Rachlan pihaknya tidak mendengar adanya serah terima uang secara langsung, kemudian ditangkap. Yang terjadi justru hanya penjelasan mengenai adanya transaksi uang melalui rekening
"Ini bukan OTT yang lazim di mana ada suatu kejadian pidana pejabat publik disuap dan uang diserahkan. Ini pernyataan OTT KPK yang paling lemah," katanya.
Menurut Rachlan, KPK dalam pernyataan resminya, belum memberikan bukti yang kuat secara hukum. Pernyataan-pernyataan yang dilotarkan pimpinan KPK dalam menjelaskan kasus Putu Sudiartana yang duduk di komisi III DPR RI itu hanya normatif.
"Pernyataan KPK penyataan normatif. Sehingga kemudian seharusnya dalam konstruksi hukum itu hanya bisa digolongkan sebagai bukti petunjuk, yang kemudian digunakan untuk di dalami," pungkasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Partai Demokrat I Putu Sudiarta sebagai tersangka suap menerima uang Rp 500 juta terkait pembangunan 12 ruas jalan di Provinsi Sumatera Barat.
Pembangunan jalan tersebut digagas oleh Kepala Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Barat Suprapto.
"SPT berencana akan membuat nilai proyek Rp 300 milair," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat memberikan keterangan pers di kantornya, Jakarta, Rabu (29/6/2016).
Menurut Basaria, kasus tersebut bermula dari serang pengusaha bernama Suhemi yang mengaku memiliki hubungan di DPR RI agar Suprapto mendapatkan proyek tersebut. Untuk menggolkan rencana tersebut, Suprapto kemudian mentransfer uang senilai Rp 500 juta kepada Sudiarta.
"Yang ditransfer Rp 500 juta. Pertama ditranser Rp 150 juta, kemudian Rp 300 juta plus Rp 50 juta," ungkap Basaria.
KPK kemudian menangkap Sudiarta di rumahnya di perumahan DPR RI di Ulujami, Jakarta barat. Kemudian KPK juga menangkap Yogas Askan (pengusaha), Suhemi , Noviyanti, Muchlis, dan Suprato.
Kepada Sudiarta, Noviyanti dan Suhemi, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sementara kepada Yogas dan Suprato dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.