Ketua Panja RUU Pertembakauan tak Setuju Mematikan Tembakau
RUU Pertembakauan merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - RUU Pertembakauan merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan.
RUU Pertembakauan iharapkan dapat memperbaiki regulasi dari berbagai aspek, seperti pengelolaan tembakau baik dari sisi budidaya, kepentingan petani, produksi, tata niaga, penerimaan negara, ketenagakerjaan, maupun aspek kesehatan.
Hal itu disampaikan Ketua Panja RUU Pertembakauan, Firman Subagyo menepis tudingan gerakan anti tembakau yang menyatakan industri rokok dibalik RUU Pertembakauan yang saat ini dibahas DPR.
Menurut Firman, tuduhan tersebut dan berbagai tuduhan lain yang tersampaikan lewat opini media itu tidak lain sebagai propaganda hiperbolis yang mengancam semangat nasionalisme di Indonesia.
"Gerakan anti tembakau melakukan propaganda hiperbolis yang dikendalikan oleh perusahaan asing untuk mematikan sektor tembakau yang strategis di Indonesia," ujar Firman di Jakarta, Rabu (29/6/2016).
Menurut Firman, ancaman gerakan anti tembakau dari dalam negeri jauh lebih berbahaya ketimbang ancaman langsung dari luar yakni negara asing.
"Mereka mengendalikan orang-orang penting di negara ini untuk merusak Indonesia," tegas dia.
Merujuk hasil penelitian yang tertuang dalam buku ‘Kretek: Kajian Ekonomi & Budaya 4 Kota' memperlihatkan bahwa pertembakauan dari mulai budidaya, pengolahan produksi, tata niaga, distribusi, dan pembangunan industri hasil tembakaunya mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional dan mempunyai multi effect yang sangat luas.
Karena Pertembakauan secara menyeluruh menyerap 30,5 juta tenaga kerja, dari petani di kebun ke buruh di pabrik hingga ke pedagang kecil.
Juga dari sisi target penerimaan cukai hasil tembakau sebagaimana pada RAPBNP-2016 ditargetkan Rp 141,7 triliun, industri tembakau memberi kontribusi perpajakan terbesar yakni 52,7 persen dibanding dengan sektor lain seperti BUMN sebesar 8,5 persen, real estate dan konstruksi 15,7 persen, maupun kesehatan dan farmasi sebesar 0,9 persen.
"Jika produktivitas industri tembakau menurun, maka akan terjadi defisit anggaran dan diperlukan sumber pendapatan alternatif lainnya," kata dia.
Karena itu, tidak berlebihan pula kalau itu kemudian dikuatkan dengan regulasi yang lebih tinggi yaitu Undang-undang.
Menurut Firman yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, RUU Pertembakauan masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas tahun 2015 dan 2016.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.