Eksekusi Mati Gelombang Ketiga Dinilai Ilegal
"Mereka untuk dieksekusi, harus memegang keputusan presiden (keppres) soal penolakan hukuman mati," ujar Julius.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eksekusi mati gelombang III terhadap empat terpidana kaus narkoba yang dilakukan Jumat lalu (29/7/2016) dinilai ilegal.
Kordinator Bantuan Hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI), Julius Ibrani, mengatakan ada sejumlah aturan yang dilanggar pemerintah dalam pelaksanaan ekesekusi tersebut.
Dalam konferensi persnya bersama koalisi masyarakat tolak hukuman mati, di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2016), ia mengatakan tiga dari empat orang yang dieksekusi Jumat lalu, Humprey Jeffersson, Seck Osmane dan Freddy Budiman, belum mendapatkan kejelasan soal grasi yang mereka ajukan.
Padahal pasal 13 Undang-Undang nomor 5 tahun 2010 tentang grasi, mensyaratkan hukuman mati tidak boleh dilakukan bila terpidana tengah mengajukan grasi.
"Mereka untuk dieksekusi, harus memegang keputusan presiden (keppres) soal penolakan hukuman mati," ujar Julius.
Dari sisi anggaran, pelaksanaan hukuman mati itu juga patut dipertanyakan.
Pemerintah menganggarkan lebih dari Rp 400 juta, untuk mengeksekusi mati seorang terpidana mati. Anggaran tersebut diajukan oleh Polri dan Kejaksaan.
Pada eksekusi gelombang III, dianggarkan sekitar Rp 7 Miliar untuk mengeksekusi 14 orang.
Pada akhirnya hanya 4 orang yang dieksekusi, namun anggarannya sudah keburu habis.
Kata dia, ada indikasi penyimpangan anggaran dalam pelaksanaan hukuman mati tahap tiga.
Anggaran itu menurutnya juga bertentangan dengan kebijakan pemerintah soal penghematan anggaran. Di tengah-tengah permasalahan keuangan yang ada, mulai dari pemangkasan anggaran lembaga dan kementerian serta pemangkasan jumlah Pegawai Negri Sipil (PNS), pemerintah masih bisa menganggarkan miliaran rupiah untuk ekeskui mati.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A. T. Napitupulu, dalam kesempatan yang sama menambahkan bahwa sesuai aturan yang ada, para terpidana mati berhak atas pemberitahuan 3 X 24 jam sebelum eksekusi dilaksanakan.
Namun para terpidana mati hanya diberikan waktu sekitar 60 jam, sebelum akhitnya dibunuh.
Pemberitahuan tersebut bukanlah pemberitahuan main-main, menurut Erasmus.
Aturan itu dibuat agar terpidana mati bisa mempersiapkan diri, sebelum pelaksanaan hukuman mati, persiapan tersebut termasuk langkah hukum, persiapan mental dan sejumlah persiapan lainnya.
"Pemberitahuan tiga kali dua puluh empat jam itu tidak main-main, jangan main-main dengan nyawa orang," terangnya.
Ia mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan hukuman mati selama ini.
Selain itu Jaksa Agung, HM.Prasetyo juga harus dievaluasi mengingat dalam pelaksanaan eksekusi mati gerlombang ketiga ini terdapat sejumlah pelanggaran.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.