Atlet Sepeda Peraih Medali Emas Itu Kini Menarik Becak
Ia menyumbang medali emas untuk Indonesia di Sea Games tahun 1979 di Kuala Lumpur.
Editor: Hasanudin Aco
"Yang paling membanggakan saya adalah Sea Games 1979 di Kuala Lumpur karena berhasil menyumbang emas untuk Indonesia. Sebelumnya, tahun 1978 saya juga berhasil mendapat medali perunggu pada ajang open turnamen di China," kenangnya.
Putus Asa
Meski banjir prestasi, namun yang diperoleh Suharto hanyalah kebanggaan semata. Tidak ada bonus dan jaminan hidup layak dari pemerintah di kala itu,menjadikan Suharto putus asa. Usai Sea Games 1979, dia pun memutuskan untuk "mengandangkan" sepedanya. Dia kini tidak lagi berkiprah di arena balap.
Untuk menyambung hidup, Suharto pernah mencoba berbagai pekerjaan. Namun pada akhirnya tidak bisa jauh dari pedal. Namun kali ini bukan lagi pedal sepeda, melainkan pedal becak. Dari pekerjaan itu, dalam sehari dia mendapatkan uang rata-rata sebesar Rp 50.000. Kalau rezeki sedang melimpah, di akhir hari dia bisa membawa pulang uang Rp 100.000.
"Cukup tidak cukup, ya harus dicukup-cukupkan," sebut bapak tiga anak itu.
Sehari-hari, antara pukul 06.00 - 18.00, dia mencari penumpang di kawasan pasar Pegirian dan pasar Kapasan. Meski tercatat sebagai atlet tingkat internasional, namun jangan membayangkan rumah Suharto megah. Rumah yang ditinggalinya adalah sebuah rumah petak berukuran sekitar 12 meter persegi.
Untuk mencapai rumah tersebut, seseorang mesti melewati kampung sempit padat penduduk. Saking padat dan sempitnya, warga setempat membuat aturan agar setiap pengendara sepeda motor turun dari kendaraan dan menuntunnya.
Rumah yang ditinggali Suharto sendiri tidak berada di tepi jalan. Rumah itu berada di dalam sebuah gang kecil yang tidak begitu terlihat dari jalan utama kampung. Walau begitu, kalau orang mencari rumah Suharto, warga setempat pasti tahu. Apalagi, nama Suharto tukang becak memang beberapa kali masuk media massa dan disebut-sebut sebagai orang yang pernah membanggakan negara.
Di rumah berdinding triplek itu, tidak banyak ruang untuk meletakkan berbagai jenis barang. Saking sempitnya, untuk bisa masuk harus hati-hati saat melangkah. Sebab di lantainya berserakan berbagai barang keperluan sehari-hari , misalnya pakaian, kipas angin, kotak-kotak makanan, sangkar burung, hingga keranjang berisi telur.
"Ini telur untuk bahan bikin martabak. Kalau sore, istri saya memang juga jualan martabak di dekat sini," ujar Suharto.
Di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit, Suharto bukannya tidak punya rencana untuk membangun hidup yang lebih baik. Dia pernah punya keinginan untuk membangun usaha sendiri. Namun apa daya, penghasilan sehari-hari tidak pernah cukup untuk dijadikan modal.
Karena keterbatasan modal itulah, dua bulan silam dia pernah mengajukan pinjaman modal kepada Tri Rismaharini, Walikota Surabaya. Namun, permohonan peminjaman uang itu tidak pernah terkabul sampai kini.
"Ya sebenarnya kecewa juga sama bu Risma. Padahal sebagai eks atlet Porseni Korpri, saya juga pernah mengharumkan nama Surabaya. Lagipula, bantuan yang saya minta itu sifatnya pinjaman, bukan meminta uang. Jadi pasti akan saya angsur," pungkas dia.(surya/ebenhaezer_bersambung)