Ani Terobsesi Dokter Bedah Syaraf yang Sukses 'Memisahkannya' dengan Sang Kembaran 29 Tahun Lalu
Operasi pada 21 Oktober 1987 itu menjadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Dewi Agustina
![Ani Terobsesi Dokter Bedah Syaraf yang Sukses 'Memisahkannya' dengan Sang Kembaran 29 Tahun Lalu](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kembar-siam-yuliana-dan-yuliani-hadir-di-acara-kompas-tv_20160826_111626.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Si kembar Yuliana-Yuliani menjadi pemberitaan hangat pada 1987 alias 29 tahun silam karena dilahirkan sebagai bayi kembar siam.
Berkat upaya keras yang dilakukan tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta--dipimpin Prof dr Padmosantjojo--Yuliana dan Yuliani bisa dipisahkan serta hidup normal.
Bagimana kondisi mereka saat ini, berikut laporannya.
Dua perempuan berwajah sangat mirip, duduk di ruang tunggu studio Kompas TV, Palmerah, Jakarta, Kamis (25/8/2016) pagi.
Mereka adalah Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, dua perempuan yang terlahir kembar siam pada bagian kepala pada 1987 lalu.
Saat itu mereka menjadi bahan pemberitaan berbagai media karena keberhasilan operasi pemisahan yang dilakukan Prof dr Padmosantjojo. Kini, keduanya telah menginjak usia 29 tahun dan mempunyai karier yang cemerlang.
Ana, sapaan Yuliana, yang dianggap sebagai kakak, saat ini tengah menyelesaikan program strata tiga (S3) atau doktoral ilmu nutrisi dan teknologi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat.
Sedang sang adik, Ani--sapaan Yuliani--telah lulus menjadi dokter dari Universitas Andalas dan sedang menjalani program intersip di Puskesmas Seberang Padang, Kota Padang, Sumatera Barat.
Saat berada di Kompas TV, keduanya mengenakan pakaian hingga aksesoris yang sama. Baju yang dikenakan, yakni warna hitam bercorak bunga warna putih merah marun. Keduanya kompak mengenakan celana jins biru.
"Pakaian dan aksesori yang kami kenakan ini bukan karena direncanakan. Ini kebetulan. Make up kami juga masing-masing, di sini cuma dipoles sedikit untuk finishing touch sebagai narasumber," ujar Ani, yang dibenarkan Ana.
Ani menceritakan, dia dan Ana mulai mengetahui lahir sebagai kembar siam sejak kecil. Sang ayah, Tularji dan ibunda, Hartini, menceritakan sembari menunjukkan sejumlah kliping koran tentang pemberitaan operasi pemisahan oleh dokter ahli bedah saraf, Prof dr RM Padmosantjojo, di RSCM, Jakarta, pada 21 Oktober 1987.
Saat itu usia mereka masih 2 bulan 21 hari.
"Kami dikasih tahu sama mama dan papa. Dari foto-foto operasi juga jelas," tutur Ani.
"Insyaallah, kalau ada rezeki saya ambil (kuliah dokter) spesialis seperti Pakde, dokter bedah saraf. Pakde jadi inspirasi saya menjadi dokter bedah saraf Indo. Itu dari pengalaman hidup saya sebagai kembar siam," demikian obsesi mantan kembar siam, Pristian Yuliani.
Ani, demikian sapaan akrab Pristian Yuliani, merupakan kembar siam dempet di kepala secara vertikal (kraniopagus) dengan pasangannya, Pristian Yuliana yang akrab dipanggil Ana.
Kembar Yuliana-Yuliani menjadi pemberitaan hangat pada 1987 alias 29 tahun silam.
Berkat upaya keras yang dilakukan tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dipimpin Prof dr Padmosantjojo, Yuliana dan Yuliani bisa dipisahkan serta hidup normal.
Pakde adalah panggilan akrab Prof dr Padmosantjojo, seorang ahli bedah saraf yang berhasil memisahkan selaput otak (duramater) Ani dan Ana ketika masih balita.
Operasi pada 21 Oktober 1987 itu menjadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf.
Saat ini, Ani telah lulus menjadi dokter dari Universitas Andalas dan sedang menjalani program intersip di Puskesmas Seberang Padang, Kota Padang, Sumatera Barat.
"Pakde selalu kontak dengan saya pada Sabtu dan Minggu. Dia adalah orangtua angkat saya, yang menyekolahkan saya menjadi dokter dan kakak saya (Ana) menjadi doktor," kata Ani ketika ditemui di studio Kompas TV, Kamis (25/8/2016).
Ani ingin bisa menolong bayi kembar siam.
"Saya ingin membuktikan kepada Pakde, saya bisa lho menjadi seperti Pakde. Menjadi seperti Pakde merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan saya ingin menolong anak lainnya," tambah Ani.
Menurut Ani, ada sejumlah anggapan kembar siam mempunyai risiko tinggi dalam perkembangan. Anggapan itu kemudian menjadi cambuk bagi dirinya untuk menggapai prestasi.
"Kami harus bisa membuktikan, kami kembar siam berisiko tinggi tapi kami bisa berkompetisi dan bersaing dengan anak-anak lainnya. Kami tidak kalah," kata Ani bersemangat.
Sedang Ana yang saat ini tengah menyelesaikan program strata tiga (S3) atau doktoral ilmu nutrisi dan teknologi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat, dapat menyelesaikan studi S1 dengan status cumlaude, hanya dalam waktu 3,5 tahun.
"Sebenarnya cita-cita saya juga ingin jadi dokter," katanya.
Semula ia tidak begitu menyukai pelajaran kimia dan biokimia.
"Tapi faktanya sampai hari ini, riset saya masih berkutat mengenai struktur kimia, metabolisme sekunder. Jadi apa yang tidak saya sukai justru didekatkan oleh Tuhan. Tapi akhirnya saya senang menjalaninya," kata Ana.
Pada masa lalu Ani dan Ana selalu menempuh pendidikan dalam satu sekolah, mulai SD, SMP, SMA, hingga kuliah S1. Soal kemampuan akademis, Ani biasanya lebih unggul dibandingkan Ana. (coz/ape/val)