Ahok Anggap Ada yang Konyol Saat Menjadi Saksi untuk Sanusi
Ahok menganggap konyol saat penasehat hukum dalam persidangan
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menganggap ada yang konyol saat menjadi saksi untuk terdakwa Mohamad Sanusi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (5/9/2016).
Ahok menganggap konyol saat penasehat hukum dalam persidangan, mengutip pernyataan Ketua Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik, yang bilang dirinya setuju menghilangkan rumusan kontribusi tambahan, yakni 15 persen dikali nilai jual obyek pajak dan lahan yang dapat dijual.
Aturan itu, tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
"Yang konyol adalah mereka sempat nuduh saya bahwa Taufik dan Sekretaris Daerah Jakarta (Saefullah) bilang saya menyetujui menghilangkan itu," ucap Ahok di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (5/9/2016).
Ahok mengatakan, tidak mungkin dirinya setuju menghilangkan rumusan kontribusi tambahan, kemudian menyetujui usulan Taufik, yakni kata kontibusi tambahan yang diwajibkan kepada pengembang, diubah menjadi minimal 5 persen dari luas lahan pulau dalam bentuk pembangunan infrastruktur di Ibu Kota.
Sebab, jika setuju dia tidak akan membalas usulan Taufik dengan kata, "Gila! Kalau seperti ini bisa pidana korupsi,".
"Kalau saya setujui pasti tidak spontan nulis gila dong. Itu saya bilang waktu BAP di KPK untung saya emosian orangnya. Saya marah terus (tulis) gila," kata Ahok.
"Kalau tidak ada kata gila mereka bisa-bisa menuduh saya menghilangkan itu. Sekarang balik, siapa yang menghilangkan? Jelas DPRD kok. Sekarang mereka bilang saya setuju. Gila aja. Kesel saya tadi," kata Ahok.
Seperti diketahui, dalam kasus ini Jaksa KPK mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro.
Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW).
Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
Atas perbuatan itu, Sanusi yang juga adik kandung Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik tersebut didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain itu, Jaksa juga mendakwa Sanusi dengan pencucian uang. Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor.
Tak cuma itu, Sanusi juga menyimpan uang US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumahnya di Jalan Saidi I Nomor 23, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Uang senilai Rp 45 miliar lebih itu didapat Sanusi dari para rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang merupakan mitra kerja Komisi D DPRD DKI.
Para rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI itu dimintai uang Sanusi terkait pelaksanaan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.
Atas perbuatannya, Jaksa mendakwa Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.