Pengacara Kasus Suap Dua Hakim PN Jakarta Pusat Dengarkan Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) akan membacakan dakwaan Raoul Adhitya Wiranatakusumah.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) akan membacakan dakwaan Raoul Adhitya Wiranatakusumah, selaku kuasa hukum pihak tergugat perkara wanprestasi yang diajukan oleh PT Mitra Maju Sukses (PT MMS) terhadap PT Kapuas Tunggal Persada (PT KTP).
Raoul diduga mencoba melakukan suap kepada dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar perkaranya dimenangkan.
Dalam dakwaan Ahmad Yani staf Wiranatakusumah Legal & Consultan, dua hakim yaitu Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya disuap SGD 28 ribu bersama Raoul atasannya.
Suap untuk memuluskan dan untuk memengaruhi putusan perkara perdata nomor 503/PDT.G/2015/PN.JKT.PST, tersebut.
Untuk melancarkan perkaranya, Raoul berusaha melobi hakim Partahi dan hakim Casmaya.
"Pada tanggal 13 April 2016, Raoul Adhitya Wiranatakusumah datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menemui Partahi Tulus Hutapea. Namun karena tidak ada di ruangannya maka Raoul Adhitya Wiranatakusumah hanya menemui Casmaya yang juga salah satu anggota majelis hakim perkara tersebut," kata Jaksa KPK Pulung Rinandoro saat membaca dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (12/10/2016).
Selanjutnya pada tanggal 15 April 2016, Raoul Adhitya Wiranatakusumah datang kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan berhasil menemui Partahi serta Casmaya.
"Pertemuan berlangsung di ruangan hakim lantai 4 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, membicarakan perkara tersebut," kata jaksa Pulung.
Dugaan suap ini bermula, ketika Raoul selaku pengacara PT KTP mengontak Santoso pada 4 April 2016. Dia menyampaikan agar bisa memenangkan perkara perdata tersebut.
Untuk itu segala upaya dilakukan lewat Santoso, demi melobi Partahi dan Casmaya untuk menolak gugatan dari PT MMS.
"Setelah beberapa kali dilakukan proses persidangan, pada 4 April 2016 Raoul Adhitya Wiranatakusumah menghubungi Muhammad Santoso. Raoul menyampaikan keinginannya untuk memenangkan perkara tersebut dan agar majelis hakim menolak gugatan dari PT MMS," kata jaksa Pulung.
Selanjutnya, Raoul yang hendak pergi ke luar negeri lebih dulu mengenalkan Santoso kepada stafnya, Yani. Tujuannya, agar Raoul tetap bisa memonitor perkembangan proses hukum PT MMS versus PT KTP melalui Yani.
Kepada kedua hakim, Raoul menjanjikan SGD 25 ribu dengan maksud Majelis Hakim yang diketauai Partahi menolak gugatan PT MMS.
Raoul juga menjanjikan SGD 3 ribu kepada Santoso untuk kompensasi perannya melobi Partahi dkk.
Usai kesepakatan dengan Santoso, Yani menemui Raoul untuk mengambil uang Rp 300 juta dari rekening Raoul.
Uang sebanyak itu kemudian ditukarkan dalam mata uang dolar Singapura dan menjadi SGD 30 ribu dalam pecahan SGD 1.000.
Kemudian Raoul memerintahkan Yani untuk memisahkan duit-duit pelicin itu menjadi SGD 25 ribu dan SGD 3 ribu.
Uang SGD 25 ribu ditaruh di amplop putih bertuliskan 'HK'. HK itu merupakan kode untuk 'Hakim' yang diperuntukan kepada Partahi dan Casmaya.
Sementara uang SGD 3.000 ditaruh amplop putih bertuliskan 'SAN' yang merupakan kode untuk Santoso. Sisanya, SGD 2 ribu dikantongi oleh Yani.
Lalu majelis hakim Partahi cs pada 30 Juni 2016 memutus tidak dapat menerima gugatan PT MMS kepada PT KTP. Usai putusan itu, Santoso menghubungi Yani untuk menanyakan janji pemberian uang itu.
Yani merespon telepon Santoso dan sepakat bertemu untuk penyerahan uang. Kesepakatan penyerahan uang dilakukan di ruang kerja Yani di kantor Wiranatakusumah Legal & Consultant
"Disepakati, Muhammad Santoso akan mengambil uang tersebut di tempat kerja terdakwa," kata Jaksa Pulung.
Usai kesepakatan, lalu Santoso bergegas menuju kantor Wiranatakusumah Legal & Consultant di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada sore hari atau beberapa jam setelah putusan dibacakan majelis hakim Partahi cs.
Setelahnya, Tim Satgas KPK menangkap tangan Santoso di perempatan lampu merah Matraman, Jakarta Timur yang saat itu tengah menumpang ojek motor.
Atas perbuatannya itu, Yani didakwa dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.