Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sempat Stres Diamputasi, Debora Bangkit dan Kini Raih Medali Emas

Debora awalnya adalah mahasiswa biasa. Rutinitas setiap harinya pergi ke kampus, belajar, lalu pulang. Namun, kecelakaan membuatnya hampir menyerah.

Editor: Content Writer
zoom-in Sempat Stres Diamputasi, Debora Bangkit dan Kini Raih Medali Emas
dok. Pemprov Jabar
Atlet atletik Jawa Barat, Debora, bersama dengan Puteri Indonesia Jawa Barat, Evan Lysandra. 

TRIBUNNEWS.COM - Debora awalnya adalah mahasiswa biasa. Rutinitas setiap harinya pergi ke kampus, belajar, lalu pulang. Namun, kecelakaan membuatnya hampir menyerah untuk melanjutkan hidup.

Kecelakaan pada 2014 itu merupakan momen paling berat bagi atlet yang telah meraih emas di tolak peluru dan lempar cakram ini.

Kaki kanannya mesti diamputasi, membuat rutinitas sehari-harinya menjadi terhambat.

Bahkan, ia sempat merasa terpuruk di hari-hari setelah ia diamputasi.

“Waktu tahun kemarin saya merasa begitu stres, karena operasinya baru 2015. Itu berat sekali,” ucap Debora.

“Lalu, teman-teman saya datang dan coba menyemangati. Di situ, saya mulai kembali masuk kuliah,” tambah Debora.

Setelah mulai termotivasi kembali, Debora mulai mencari organisasi bagi disabilitas.

Berita Rekomendasi

Saat itu, ia bergabung organisasi pengrajin kaki palsu. Tanpa disangka, dari organisasi tersebut Debora mulai dikenalkan kepada olahraga.

“Saya dikenalkan pelatih dari situ. Tak lama setelah ngobrol-ngobrol, saya pun diajak untuk latihan, waktu itu di nomor lempar,” cerita atlet Jawa Barat ini

Setelah masuk kuliah, Debora dipanggil untuk sentralisasi pelatihan daerah (pelatda) Jawa Barat.

Hal ini pun memaksanya cuti kuliah karena ingin fokus untuk persiapan Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV 2016 Jawa Barat.

Pilihan Debora ternyata tidak sia-sia. Berkumpul bersama rekan-rekan difabel yang lain membuat Debora tidak merasa sendirian.

Ia merasa setara dengan mereka semua.

“Saya jadi tidak merasa sendiri. Saya melihat bahwa masih banyak yang lebih parah dari saya. Tidak ada diskriminasi di antara kami. Tidak ada lagi rasa malu atau canggung. Sudah seperti biasa saja kami semua sesama difabel,” kata Debora.

Debora bercerita untuk mencapai Peparnas XV mereka disiapkan selama lima bulan.

Ia melakukan program pagi dan sore. Tidak peduli hujan dan panas menerpa dirinya.

“Demi Jabar kahiji,” ucap perempuan yang tinggal di Pasir Koja, Bandung, ini.

Saat masa persiapan itulah Debora merasa kalau dirinya tak lagi sendiri.

Ia mendapatkan dorongan serta semangat yang begitu besar.

“Dengar hadir bersama-sama, itu menambah semangat kami. Saya tidak lagi merasa down dan tidak merasa sendirian. Kami bareng-bareng bersama atlet yang lain. Dulu, saya seperti hidup sendirian. Sehari itu seperti lama sekali. Sementara pada lima bulan terakhir, kami begitu menikmati hidup,” kata Debora.

Awalnya, Debora sempat merasa gentar saat mendengar bagaimana sosok lawan-lawannya di Peparnas. Menurut Debora, tidak sedikit lawan-lawannya nanti merupakan atlet pelatnas yang limitnya sudah di atas dirinya. “Namun, masukan dari pelatih dan senior itu begitu menguatkan dan meminta kami untuk tetap tenang. Kami tetap semangat saat berlatih pagi dan sore. Hujan dan panas tetap kami hajar terus,” cerita Debora.

Debora pun memberikan pesan bagi kawan-kawan difabel untuk tetap semangat dan tak segan terus melanjutkan hidup.

“Tetap tenang karena Tuhan pasti memberikan yang terbaik. Tak perlu dipikirkan karena Tuhan akan memberikan jalan untuk kita, dan rencana-Nya begitu indah,” ucap Debora.

Tentu, bukannya tanpa alasan Debora bilang demikian, karena ia pun sempat merasakan keterpurukan.

Dulu, sebelum kecelakaan menimpa dirinya, ia lebih sering berdiam diri di rumah.

Kalaupun keluar rumah, itu dilakukannya saat pergi ke kampus.

“Saya tidak menyangka bisa ada di sini, di ajang olahraga terbesar di Indonesia. Saya tidak pernah berpikir bisa menjejakkan kaki di stadion yang megah ini,” kenang Debora.

Tentu, untuk mencapai itu semua, mesti ada yang dikorbankan.

Tenaga menjadi hal yang pertama karena untuk latihan dibutuhkan tenaga ekstra.

Ia berlatih setiap hari dan libur pada hari Minggu.

Selain itu, waktu bertemu orang tua menjadi berkurang karena ia mesti berkomitmen dengan profesi yang ia jalani saat ini.

“Senangnya, saat ini hidup saya sudah berubah 180 derajat. Saya bersyukur sekali pada Tuhan untuk semuanya,” tutup Debora.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas