Pengamat: Konsolidasi Kedua, Jokowi Akan Memisahkan Mana Kawan dan yang Numpang
Unjuk rasa 4 November atau dikenal Aksi 411 menjadi titik balik Presiden Joko Widodo adanya sisi yang terlupakan.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Unjuk rasa 4 November atau dikenal Aksi 411 menjadi titik balik Presiden Joko Widodo adanya sisi yang terlupakan.
Demikian dikatakan Pengamat Politik Ray Rangkuti dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (20/11/2016).
"Ini menjadi semacan dua kesadaran politik Jokowi. Soal ada ruang terlupakan ada konsolidasi politik lalu menguji siapa kawan sesungguhnya atau siapa kawan sekedar menikmati kekuasaan Pak Jokowi," kata Ray Rangkuti.
Presiden Jokowi, kata Ray, tak menyadari ditengah semangat pembangunan dan infratruktur terdapat proses pengelolaan politik.
Baca: MN KAHMI Nilai Safari Jokowi Usai Aksi 4 November Menimbulkan Multitafsir
Baca: Doli: Kalau Memang Tidak Ingin Melindungi Ahok, Pak Jokowi Tidak Perlu Safari
Diketahui, terdapat tujuh partai politik pendukung pemerintah.
Menurut Ray, Presiden Joko Widodo terlena dengan situasi tersebut.
Sebab, parpol pendukung Jokowi mendominasi parlemen.
"Dibayangkan sudah stabil sampai muncul 411," kata Ray.
Ray menegaskan loyalitas koalisi terlihat saat peristiwa 411.
Akhirnya, kata Ray, Presiden Jokowi melakukan konsilidasi yang dimulai menemui ormas agama serta TNI-Polri.
"Saya pikir konsolidasi kedua akan memisahkan mana kawan dan yang numpang," kata Ray.
Saran Temui SBY
Sebelumnya, pengamat komunikasi politik, Maksimus Ramses Lalongkoe, mengatakan, Presiden Joko Widodo, terkesan memperlebar jarak dengan presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono.
“Pak Presiden Jokowi sebaiknya tidak memperlebar jarak dengan presiden keenam, Pak SBY,” kata Ramses, Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia, Jumat (18/11/2016).
Menurut Ramses, banyak pihak bertanya-tanya ketika Presiden Jokowi melakukan konsolidasi politik dengan toloh-tokoh nasional, lembaga-lembaga keagamaan, dan institusi negara lainnya, tapi “mengabaikan” SBY.
Ketika terjadi unjuk rasa yang menuntut calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Presiden Jokowi hanya menjalin komunikasi dengan tokoh nasional lainnya.
Akan tetapi, komunikasi yang sama tidak dilakukan dengan SBY.
Hingga SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat harus memberikan klarifikasi terhadap berbagai isu yang menerpanya.
Tanggapan dan klarifikasi SBY atas situasi yang berkembang, termasuk soal aktor politik dan temuan intelijen kepada publik memunculkan banyak spekulasi dan pertanyaan di publik.
"Konsolidasi oleh Jokowi belakangan ini sudah tepat. Namun, mengapa tidak dengan SBY? Sebaiknya SBY juga didekati,” kata Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta, itu.
Ramses mengatakan, komunikasi politik Presiden Jokowi dengan SBY tersebut akan melenturkan tensi politik di Indonesia.
Pertemuan Presiden Jokowi dengan sejumlah tokoh di Indonesia, termasuk dengan lembaga atau organisasi keagamaan dan institusi negara dinilainya bukan tanpa tujuan.
“Pesan politik pertemuan ini menggambarkan Presiden ingin memastikan bangsa aman dan terkendali sehingga masyarakat tidak perlu resah,” kata penulis buku 'Ahok Sang Pemimpin Bajingan' itu.
Ia menilai, sikap kenegarawanan Presiden Jokowi sudah terlihat melalui sejumlah pendekatakan yang dilakukan.
Presiden Jokowi telah menerima kunjungan balasan dari Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Istana Negara, Kamis (17/11/2016). Kata Ramses, pertemuan ini juga tentu bukan tanpa pesan politik.
“Untuk menghindari berbagai spekulasi politik maka semestinya Pak Presiden Jokowi juga perlu melakukan tatap muka dengan Pak SBY demi kebaikan bangsa ini,” katanya. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.