Rachmawati Ngotot Kembali ke UUD 1945
Pendiri Yayasan Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, adalah satu di antara 11 orang yang ditangkap Kepolisian
Penulis: Valdy Arief
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Yayasan Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, adalah satu di antara 11 orang yang ditangkap Kepolisian jelang aksi 2 Desember silam.
Putri dari presiden pertama Indonesia ini dituduh merencanakan upaya untuk menggulingkan Pemerintahan Joko Widodo. Ditangkap Jumat (2/12) pagi, sekitar 05.00 WIB, Rahmawati baru dilepaskan sekitar 21.00 WIB di hari yang sama.
Lima hari berselang, Rachmawati membantah pertemuan dan aksi yang direncanakannya untuk menduduki Gedung DPR/MPR sebagai bagian dari upaya makar.
Aksi yang memang akan berlangsung di depan kantor wakil rakyat, dia jelaskan, adalah bagian dari dorongan agar Undang-Undang Dasar 1945 asli, sebelum diamandemen, kembali menjadi konstitusi Indonesia.
Dalam konferensi pers di kediamannya, Jalan Jati Padang Raya, Pejaten, Jakarta Selatan, Rachmawati menjelaskan sebab ingin dasar negara kembali ke bentuk asalnya. Termasuk karena ada perubahan di Pasal 33 yang mengatur perihal kegiatan perekonomian Indonesia.
"Itu hilangkan aspek keadilan sosial," katanya Rabu (7/12).
Namun, Rachmawati sempat menyinggung nama Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang juga saudara kandungnya.
"Mega yang tandatangani amandemen empat kali," ungkapnya.
Tidak hanya itu, wanita yang sehari-hari duduk di atas kursi roda ini, juga mengutarakan ketidakpuasannya pada pemerintahan saat ini. Salah satu sebabnya adalah penegakan hukum yang dianggap belum tegas.
"Hukum tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah," ujarnya. "(Kasus dugaan korupsi) BLBI tidak pernah disentuh sama sekali," tambah dia.
Ucapan Rachmawati tersebut menyiratkan bagaimana hubungannya dengan sang kakak, Megawati Soekarno Putri. Wakil Rektor Universitas Bung Karno yang menjadi juru bicara Rachmawati, Teguh Santosa, membenarkan ada beda pandangan di antara dua anak Soekarno itu.
Perbedaan yang bersifat ideologis itu, jelas Teguh, terlihat jelas dalam pandangan masing-masing soal amandemen konstitusi.
"Mbak Rahma tidak setuju dengan amandemen, Megawati setuju," jelasnya.
Teguh memaparkan, menurut Rachmawati, amandemen UUD 1945 setelah reformasi menghilangkan cita-cita sosialisme Indonesia untuk melindungi aset negara dan memberi nilai kapitalisme dalam konstitusi.
Hal itu, dia sebut telah memperparah ketimpangan yang kemudian melahirkan separatisme dan fundamentalisme. Perbedaan tersebut, dinilai Teguh, biasa dalam setiap keluarga.
"Seperti kebanyakan orang bersaudara, punya perbedaan," ujarnya.
Dia pun mengakui saat ini Megawati dan Rachmawati sangat jarang bertemu. Terakhir, seingat Teguh, dua kakak beradik ini bertemu saat suami Megawati, Taufik Kiemas tutup usia. Dalam peristiwa yang terjadi pada Juni 2013 itu, keduanya tampak dalam upacara pemakaman.
"Mereka ketemu di sana, pelukan sambil menangis," ujarnya.
Selain karena beda pandangan, dua anak Proklamator ini juga sibuk dengan urusan masing. Hal itu, dianggap Teguh menjadi sebab mereka jarang bertemu. Meski demikian, sebut Teguh, komunikasi berjalan lancar di antara cucu-cucu Soekarno. (valdy arief)