Setara Institute: Pemeriksaan Rizieq Shihab Hal Biasa, Tak Perlu Melibatkan Massa
"Baik massa pendukung terperiksa ataupun massa pendukung Pelapor, karena itu biarkan proses hukum berlangsung sebagaimana mestinya," kata Hendardi.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kontroversi kericuhan antara Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) dan Front Pembela Islam (FPI) di Bandung, Kamis (12/1/2017) lalu, berbuntut kritik dan desakan pencopotan terhadap Kapolda Jabar Irjen Pol. Anton Charliyan yang juga menjadi pembina organisasi GMBI tersebut.
Ketua Setara Institute, Hendardi, menegaskan bahwa pemeriksaan atas Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang menjadi pemicu kericuhan itu adalah proses hukum biasa yang semestinya tidak perlu melibatkan massa.
"Baik massa pendukung terperiksa ataupun massa pendukung Pelapor, karena itu biarkan proses hukum berlangsung sebagaimana mestinya," kata Hendardi dalam siaran persnya, Senin (16/1/2017).
Baca: Unjuk Rasa FPI Bubar, Relawan Bersihkan Sampah
Baca: Usai Berunjuk Rasa, Massa FPI Berfoto di Depan Mobil Rizieq Shihab
Sementara kericuhan, menurut Hendardi, adalah fakta yang muncul di tengah kerumunan massa yang saling berhadapan, dan siapapun pelaku kekerasan itu harus diproses secara hukum.
"Beberapa orang yang diduga anggota GMBI harus diperiksa secara profesional. Demikian juga massa FPI baik yang melakukan kekerasan di Bandung maupun yang diduga melakukan pembakaran Sekretariat GMBI di Bogor (13/1/2017) juga harus diproses secara hukum," kata Hendardi.
Dengan jalan ini, lanjut Hendardi, supremasi hukum akan menjadi wasit yang adil bagi semua pihak.
"Supremasi hukum tidak boleh ditundukkan dengan supremasi kerumunan dan supremasi intoleransi yang saat ini menguasai ruang publik," katanya.
Baca: Didesak Habib Rizieq Agar Dicopot, Kapolda Metro: Emang Siapa Dia?
Dijelaskan, supremasi intoleransi yang dipertontonkan FPI dan tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota GMBI sama-sama tidak diperkenankan dalam negara hukum.
"Dengan cara pandang yang demikian, tidak relevan pula FPI kembali ramai-ramai berdemonstrasi mendesak pencopotan Anton Charliyan dari jabatannya sebagai Kapolda Jabar juga Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. M. Iriawan dan belakangan juga Kapolda Kalbar Irjen Pol. Musyafak," katanya.
Bahwa ada aspirasi ketidakpuasan dan diekspresikan dalam bentuk demonstrasi dengan tuntutan pencopotan, itu sesuatu yang biasa dan dijamin oleh Konstitusi.
"Tetapi ancaman dan ultimatum yang disebarluaskan oleh kelompok FPI di ruang publik yang mengiringi desakan pencopotan Anton Charliyan, merupakan teror atas ketertiban sosial yang destruktif," katanya.
Kapolri diharapkan bertindak proporsional dan profesional atas desakan FPI ini.
Jika aspirasi ini dituruti, lanjut dia. maka tesis bahwa supremasi intoleransi telah menguasai ruang publik dan mempengaruhi pergantian jabatan publik akan semakin terbukti.
"Tindakan itu akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola organisasi negara, seperti institusi Polri," katanya.
Terhadap Anton Charliyan yang menjadi pembina organisasi GMBI, kata Hendardi, perlu ditegaskan bahwa bagi seorang pejabat, menjadi pembina organisasi adalah sesuatu yang wajar dan lumrah.
Ada banyak pejabat menjadi pembina dan pengurus organisasi kemasyarakatan, baik itu organisasi kesehatan, hobby, olahraga, maupun ormas.
"Jadi tidak ada hubungan antara kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang, kemudian dia tidak boleh menjadi pembina organisasi. Apa yang disampaikan oleh Benny K. Harman (16/1) terkait posisi Anton Charliyan misalnya, bahwa aktif berorganisasi merupakan pelanggaran UU, adalah berlebihan. Sepanjang tidak ada konflik kepentingan yang menguntungkan, maka aktif berorganisasi adalah sesuatu yang wajar," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.