Proses Negosiasi Tak Transparan, Warga Tolak Jual Tanah Untuk Pembangunan BIJB
Warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, bersikukuh menolak menjual tanah mereka untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat
TRIBUNNEWS.COM - Warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, bersikukuh menolak menjual tanah mereka untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), yang direncanakan menjadi bandara terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Pasalnya, baik Pemda atau Pemprov tak pernah datang untuk menjelaskan. Proses negosaisi harga jual tanah pun tak transparan. Hingga pada November lalu, bentrok fisik antara petani dengan polisi tak terhindarkan.
“Ya setuju aja silakan. Asalkan jangan bikin masyarakat desa hancur kaya gini. Sok ke sini datang sosialisasi, kan di sini ada kepala desanya. Ngomong baik-baik, maunya gimana, kan apa-apa juga kalau beli sesuatu ketemu ada pembeli dan penjual,” ungkap Tia Maulina Suwadi, warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka.
Tia geram terhadap laku pemerintah daerah dan pemerintah provinsi.
Pasalnya tak pernah sekalipun sosialiasi tatap muka dengan warga atas rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).
Padahal, BIJB, yang digadang-gadang menjadi bandara terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta, bakal membabat desanya untuk dijadikan landasan pacu sepanjang 3.500 meter.
Suara keberatan seperti yang disampaikan Tia, rupanya sudah mencuat sejak 2014 silam.
Tahun itu, masih dalam tahap pembebasan lahan. Tapi Pemda, kata Staf Pemerintahan Desa Sukamulya, Junaedi, tak juga terbuka mengenai harga jual permeter tanah mereka.
“Pokoknya ramainya itu dari tahun 2014. Makanya kami datang ke BPN. Tolong disosialisasikan untuk kepanitian turun ke Desa Sukamulya, disebutkan bahwa yang digusur itu sejahtera jangan takut, kalau tujuannya benar, bagus pasti aman. Dia bilang yang namanya sosialisasi ya pemda dan pemprov,” ungkap Tia.
Malahan, warga sendiri yang berinisiatif menyambangi Pemkab semisal Badan Petanahan Nasional hingga gubernur sejak tahun lalu. Tapi semuanya bungkam, alasannya bukan kewenangan mereka menjelaskan.
“Ke dinas-dinas terkait. Tapi jawabannya selalu diputar-putar aja. Dari gubernur, urusan bupati. Dari bupati urusan gubernur.”
Hingga akhirnya, pada 17 November lalu bentrok antara aparat keamanan dengan warga tak terhindarkan.
Sedari pagi, aparat gabungan dari TNI, Polisi beserta Satuan Polisi Pamong Praja, mendatangi desa untuk mengawal proses pengukuran tanah. Tapi warga menolak lantaran belum adanya kesepakatan.
“Langsung menembakan gas air mata ke warga. Tapi warga masih diam, masih mengumandangkan sholawat. Itu kan gas air mata pedih. Otomatis warga Sukamulya itu berhamburan kemana-mana. Abis itu jeritan ibu-ibu semua pokoknya mah rame. Sedih saya. Sampai bilang Allahuakbar, tetap nggak didengar polisi tuh,” terang Tia.
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) mulanya menjadi proyek Pemprov Jawa Barat dan sudah digaungkan sejak 2002 oleh Gubernur saat itu Danny Setiawan.
Ketika itu pula, rancangan BIJB sudah berkonsep aerocity atau pengembangan kota bandara. Dimana setidaknya ada enam kawasan yang dibangun: mulai dari komersil, pendidikan, pergudangan, stadion olahraga, pemukiman mewah, dan hiburan.
Masih di tahun yang sama, studi kelayakan dilakukan dan diputuskan Kecamatan Kertajati sebagai lokasinya.
Penetapan lokasi tersebut, kemudian dikukuh dan diusulkan melalui Surat Gubernur Nomor 553.2/2271/Dalprog, tertanggal 29 Juli 2004 kepada Menteri Perhubungan RI.
Disusul Surat Gubernur No. 553.2/2272/Dalprog/2004 ditujukan kepada Menko Perekonomian selaku Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).
Dari surat Gubernur tersebut, maka lahirlah penetapan lokasi BIJB melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 34/2005 tertanggal 17 Mei 2005. Kemudian ditingkat kabupaten, Bupati Majalengka menetapkannya melalui Surat Keputusan Bupati Majalengka No. 16 tahun 2006.
Setelah melalui langkah-langkah penetapan, maka Dinas Perhubungan Provinsi belakangan membuat Master Plan BIJB di Kabupaten Majalengka dengan merujuk Peraturan Menteri Perhubungan No. 5 tahun 2007.
Jika melihat pada Tahapan Pembangunan BIJB, semestinya pembebasan lahan selesai di tahun 2007. Dengan begitu, pembangunan tahap 1 yang terdiri dari terminal dan bandara rampung pada 2010. Tapi nyatanya molor.
Itu mengapa pada Januari 2016, Presiden Joko Widodo memutuskan BIJB diambil alih pemerintah pusat dengan menjadikannya proyek strategis nasional. Dan akhir tahun 2017 ditargetkan beroperasi.
Juru Bicara Unit Manajemen Proyek BIJB, Wasfan Widodo menyebut, bandara ini sangat vital lantaran potensi penumpang sebagian besar berasal dari wilayah Jawa.
“Saat ini di Soetta yang umroh sehari 2800 sehari. 1600-nya dari Jawa Barat. Bisa dari Bandung, Cirebon, Majalengka bisa ke sini. Potensi kedua peralihan dari Bandara Husein, yang sudah 3 juta penumpang pertahun. Jadi kalau pergi-pergi tidak usah ke Jakarta,” ungkap Wasfan.
Pembangunan bandara dan aerocity, memakan lahan seluas 5000 hektar, yang mana 1.560 hektar merupakan lahan sawah.
Di Kecamatan Kertajati, sudah ada lima desa yang terkena dampaknya, yaitu Kertajati, Sukakerta, Bantarjati, Kertasari, dan sebagian kecil Desa Sukamulya.
Pendamping warga desa dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Syamsudin mengatakan, warga semata-mata ingin mengganti untung lahan, bukan sebaliknya.
“Pertama ingin mempertahankan tanah. Kedua relokasi, walaupun ini belum clear karena belum semua warga menyetujui. Karena kan relokasi itu tidak mudah. Butuh waktu yang agak panjang, kemudian objeknya di mana. Jadi susah kalau relokasi itu. Maka satu-satunya jalan adalah mempertahankan warga desa untuk mempertahankan desa mereka, kemudian juga ganti untung,” Syamsudin.
Tapi Pemda, kata Asisten Perekonomian dan Pemerintahan Pemprov Jabar, Deny Juanda, punya hitungan sendiri.
“Ganti untung itu akibat dari musyawarah. Kan ngga mungkin NJOP. Mana mungkin ada yang mau NJOP,” Deny.
“Tanah juga diklasifikasikan, apakah dia sawah irigasi atau bukan. Terbuka atau ada tanamannya, misalnya ada pohon nangka atau lain. Terus ada bangunan di atasnya. Apa adanya dihitung,” tambah Deny.
Meski dia mengakui, penggantian lahan warga tak melulu dengan uang. Bisa dengan rekolasi dan pembagian untung dengan menyewakan lahan mereka ke pengelola.
Tapi, ia pesimistis dan lebih memilih jalan pintas; ganti rugi. Namun, tak begitu yang diinginkan warga. Apalagi harga tanah yang dikantongi Pemda, tak dibeberkan.
Tursita, salah satu warga Desa Sukamulya mendengar informasi yang berbeda-beda di tiap desa yang lahannya dijual.
“Saya dengar yang sudah digusur tuh ada 1,5 juta perbata (14 meter). Beli lagi di desa sebelah, 4-5 juta perbata. Tergantung kepemilikan, dan dekat dengan jalan,” kata Tursita.
Belum lagi, warga yang menjual lahannya terbukti tak lebih baik hidupnya. Namun hal itu lagi-lagi langsung disanggah Deny. Warga, kata dia, bisa beralih dengan berwiraswasta.
“Khawatir wajar,tapi kan ada perangkat daerah. Jadi misalnya pindah, nggak bisa kerja, ya tinggal daftar, nanti dari disnaker kita latih, atau sebelum pindah kita latih dulu. Kemudian modal usaha. Modal usaha itu kan ada dua, satu modal usaha percobaan dan modal usaha bener, yang sudah besar,” ungkap Deny.
Hanya saja, warga Desa Sukamulya tetap berkukuh takkan menyerahkan lahan begitu saja, sampai Pemda menggelar sosialisasi tatap muka dengan mereka.
“Persoalan sosialisasi mungkin perspektifnya beda. Kalau pemerintah mengatakan sosialisasi ketika masang iklan, menyampaikan pengumuman bahwa akan membangun bandara sekian hektar itu sosialisasi. Tapi dalam persfektif Sukamulya itu bukan. Karena itu tadi ada keterlibatan masyarakat yang terdampak, ada pembahasan ada musyawarah,” kata Deny.
Bersandar pada penelusuran KBR di Kecamatan Kertajati, harga tanah di sana naik 1000 persen saban tahunnya, terutama di lima desa yang bakal disulap jadi bandara BIJB.
Sekretaris Desa Kertajati, Wawan Wirawan menyebut, harga tanah di desanya saja sudah mencapai Rp 285.714 permeternya.
Dan rupanya, tertutupnya harga tanah itu terbukti ketika KBR mencoba mengonfirmasi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Majalengka, Jawa Barat.
Kepala Subseksi Pengaturan Tanah Pemerintah BPN, Eti Rusnaeti, mengaku tak tahu apa-apa. Pihaknya, hanya bertugas mengeksekusi.
Sementara sosialisasi dan penentuan harga dilakukan tim penilai independen yang disewa Pemda. Sosialisasi pun, sudah dilakoni saat mula-mula perencanaan.
“Sosialisasi dulu oleh perencanaan, BPN kan hanya pelaksana. Awalnya kan Dishub leading sectornya, lalu di serahkan ke Biro Aset (Pemprov-red), dan bilang Dishub sudah sosialisasi.”
Eti mengklaim, BPN sudah menyelesaikan pembebasan lahan sekitar 927 hektar sejak 2009 hingga Oktober 2016. Ratusan hektar itu berada di lima desa.
Sementara, bukti kepemilikan lahan yang dikantongi BPN mayoritas atau 80 persen di antaranya adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Sisanya sertifikat milik dan akta jual beli.
Getolnya pemerintah membangun bandara terbesar kedua di Indonesia ini, bakal berimbas pada ketersediaan pangan di Jawa Barat. Pasalnya, Majalengka menempati urutan ketiga sebagai penyumbang padi di provinsi ini setelah Karawang dan Indramayu.
Penulis: Eli Kamilah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.