Gantungkan Hidup pada Pertanian, Warga Sukamulya Enggan Digusur Demi Proyek BJIB
Desa ini rupanya menjadi pemasok beras terbesar ketiga di Jawa Barat. Bahkan, 3000-an petani menggantungkan hidupnya dari bertani.
TRIBUNNEWS.COM - Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, tak lama lagi bakal rata dengan tanah. Berganti menjadi landasan pacu Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), bandara yang digadang-gadang terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta.
Tapi desa ini, rupanya menjadi pemasok beras terbesar ketiga di Jawa Barat. Bahkan, 3000-an petani menggantungkan hidupnya dari bertani.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Hari masih subuh, tapi dapur Samin sudah mengepul. Istrinya, Kartimah rupanya sedang menyalakan tungku kayu.
Keluarga Samin adalah petani di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka. Di sana, mereka sudah tinggal selama puluhan tahun.
Sembari menunggu nasinya nanak, ibu tiga anak ini melontarkan kekhawatirannya karena sawah dan rumah bakal rata dengan tanah demi pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), bandara yang digadang-gadang mendekati Soekarno-Hatta di Tangerang.
“Kalau sedih, ya sedih, udah kerasan tinggal disini. Tapi Ibu tuh gimana, mau ke mana pulangnya, nanti di mana dapat tempatnya,” ujar Samin.
Samin buta huruf. Keahliannya hanya bertani. Ketika KBR menanyakan bagaimana jika lahannya disulap menjadi bandara termegah di Jawa Barat? Pria 79 tahun itu bergeming.
“Saya punya tanah, ekonomi buat anak, perempuan, cucu-cucu saya. Kalau tanah sudah diambil bandara, saya mencari kemana. Apa untungnnya ngga ada,” ungkap Samin.
Sementara, istrinya Kartimah, cuma bisa pasrah.
“Yang maju itu orang luar. Orang sini ya gitu gitu aja miskin. Kalau liat orang yang dulu di Sukasari. Iya ada kerjaan, tapi orang sini mah nggak kurang lapangan pekerjaan,” ungkap Samin.
Di Desa Sukamulya, Samin punya sawah seluas 3,5 hektar; juga lahan yang ditanami pohon Jati dan Mahoni. Dari situlah, mereka menggantungkan hidup.
Karena itulah, Samin sekeluarga bakal mati-matian mempertahankan lantaran tak ingin bernasib sama seperti warga di desa tetangga, yang telah melepas lahannya.
“Banyak penipuan gini kalau dijalankan bandara, itu pembanyarannya nggak beres. Banyak calo. Untung calo yang punya tanah nggak untung. Banyak yang sengsara, nggak punya tanah, buat makan aja susah,” ujar Samin.
Hal yang sama juga dialami Nahya, warga Desa Kertasari yang kini sudah rata dengan tanah.
Nahya yang juga memiliki lahan di Desa Bantarjati seluas 4.070 meter persegi sudah dibeli Pemda seharga Rp111 juta pada tahun 2010. Sementara untuk rumahnya yang seluas 1.022 meter dihargai Rp56 juta pada tahun 2013.
“Yang sawah 111 juta dibayar 2010. Setelah dibayar mendapat uang dari tanah (pemukiman-red) 56 juta dibagi dua dengan kakak. Saya kasih kakak 21 juta. Dikarenakan saya ngurus dari tahun 1974, kakak tidak tahu apa-apa saya yang ngurus,” kata Nahya.
Kalau dirinci, maka satu meter persegi lahan sawah di Desa Bantarjati dihargai Rp27.272.
Belakangan, setelah semua harta bendanya dijual, Nahya beserta salah satu cucunya, hijrah ke Desa Sukamulya. Uang hasil ganti rugi itu kemudian dibelikan tanah seluas 828 meter persegi untuk membangun rumah.
Di rumah semi permanen, berplester semen itu, hanya ada tiga ruang; dapur, kamar tidur sekaligus ruang tamu, dan kamar mandi.
“Karena saya ngga akan kuat beli tanah di luar,” ujar Nahya.
Di Desa Sukamulya, pria berusia 40 tahun ini menjadi buruh tani dengan upah harian.
Warga Desa Sukamulya yang berkukuh takkan menyerahkan lahannya pada Pemda, kian murka sebab saat pembahasan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) BIJB, tanah di sana dianggap tak produktif.
Meski belakangan, dibantah Kepala Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Anang Sudarna.
"Kalau data kita itu kan pasti berdasar data statistik ya, data BPS. Kita tidak mungkin ini (rekayasa). Itu kan BPS setiap tahun melakukan sampling hitungan untuk memprediksi berapa produksi kita. Kita pakai data itu, tidak pakai data-data lain,” kata Anang.
Namun ketika KBR menyambangi Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, Staf Pengumpul dan Pengolah Data Tanaman, Ade Supriatna mengatakan, produktivitas pertanian di desa itu sekali panen mencapai 6,5 ton beras. Itu artinya masuk katagori bagus.
“KBR : Paling besar panen apa?
Ade : Padi
KBR : Bisa sekali panen berapa besar?
Ade : 6,5 ton perhektar tinggal kali aja luas baku lahannya 612 hektar.
KBR : Kalau 6,5 produktivitasnya artinya apa?
Ade : Kategori bagus.”
Ia juga bercerita, dalam setahun petani bisa panen dua kali. Kalau dihitung, total panen petani rata-rata 13 ton.
Jika luas lahan sawah di Sukamulya mencapai 612 hektar, maka dalam setahun total produksi padi bisa mencapai rata-rata 7.900an ton.
Berdasarkan data tahun 2015, kata Ade, Majalengka menempati urutan ketiga sebagai penyumbang beras di Jawa Barat, setelah Karawang dan Indramayu.
“(Kalau seluruh Jabar, itu Majalengka nomor berapa sebagai penyumbang pangan? ketiga. Itu tahun sebelumnya, Indramyu, kalau nga salah itu Karawang,” kata Ade.
Dengan adanya pembangunan BIJB, Desa Sukamulya yang 600an hektar wilayahnya adalah persawahan, bakal kehilangan 15 persen area sawah. Sehingga sudah pasti, menganggu pasokan pangan.
Dinas Pertanian pun, klaim Ade, sudah menyiapkan langkah antisipasi. Semisal meningkatkan produktivitas pertanian yang masih ada.
“Untuk menutupi kehilangan lahan, kita bisa meningkatkan IP. IP itu Indeks Pertanaman dari yang dua kali bisa tiga kali. Dengan berbagai macam bantuan dari pemerintah seperti pompanisasi, pantek, untuk percepatan tani traktor, intinya dari 6,5 kita bisa tingkatkan menjadi 6,7. Dengan program legowo dua, benih padi yang bagus unggul,” ungkap Ade.
Desa Sukamulya, tak hanya menghasilkan beras tapi juga cabai.
Salah satu petani, Tia Maulina Suwadi menanam cabai di lahan sebanyak 4.200 meter. Biasanya cabai ditanam saat masuk musim ketiga panen.
Hasil panen cabai dari kebunnya dan kebun petani lainnya, kemudian dijual ke kota-kota besar di Jawa Barat semisal Bandung juga Tangerang. Biasanya, dua ton cabai dihargai Rp100 juta.
“Kalau menguntungkan semalam itu, dapat uang 100an juta. Misalnya berangkat 12 siang ke Bandung. Pulangnya subuh suami saya. Satu mobil itu dua ton. Yang berangkat itu dua mobil. Mobil kecil,” ujar Tia.
Itu mengapa, ibu satu anak ini sangat bergantung pada lahan di Desa Sukamulya. Jika lahannya habis digarap menjadi bandara internasional, dia tak tahu bagaimana masa depannya.
Sekretaris Jendral Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS), Bambang Nurdianysah menyebut, selain aspek ekonomi, aspek sejarah desanya juga jadi alasan mengapa Sukamulya patut dipertahankan.
Pasalnya, desa ini lahir dari hasil perjuangan tokoh-tokoh dan warganya sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang dan DI/TII. Hingga diresmikan pada 1963.
Warga tetap bertahan di Sukamulya ini. Kalau ada opsi lain dari pemerintah, ya kita bicarakan bersama. Kalau harus tergusur dari sini, ada konsep relokasi dan sebagainya, kita bicarakan dengan pemerintah, opsinya seperti apa. Kita tetap meminta KSP bagaimana caranya Sukamulya tidak digusur.
Penulis: Eli Kamilah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.